WAHANANEWS.CO - Pemerintah Amerika Serikat telah mencabut visa lebih dari 500 mahasiswa, dosen, dan peneliti asing tanpa alasan yang jelas, memicu kekhawatiran luas di tengah pengetatan kebijakan imigrasi era Presiden Donald Trump.
Dilansir dari CNN, data ini diperoleh dari dokumen pengadilan, keterangan pengacara, serta pernyataan lebih dari 80 universitas dan perguruan tinggi di seluruh negeri.
Baca Juga:
Perusahaan Satelit Navayo di Hungaria Tak Indahkan Panggilan Kejagung
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebutkan bahwa Departemen Luar Negeri telah mencabut lebih dari 300 visa, mayoritas merupakan visa pelajar.
Awalnya, kasus yang disorot publik berkaitan dengan tuduhan keterlibatan terhadap kelompok teroris, seperti penangkapan Mahmoud Khalil usai aksi pro-Palestina di Universitas Columbia.
Namun, kini semakin banyak mahasiswa terancam deportasi hanya karena pelanggaran kecil yang sudah lama terjadi, bahkan dalam beberapa kasus tanpa alasan yang jelas, menurut para pengacara imigrasi.
Baca Juga:
PAOCC Tangkap 30 WNI di Filipina, Diduga Terlibat Sindikat Penipuan
Situasi ini terjadi bersamaan dengan pengetatan kontrol imigrasi yang lebih luas oleh pemerintahan Trump, termasuk penggunaan wewenang untuk menyatakan seseorang sebagai anggota geng dan mendeportasinya tanpa sidang. Presiden Asosiasi Pengacara Imigrasi Amerika, Jeff Joseph, menilai bahwa instrumen hukum imigrasi kini digunakan secara agresif sehingga menciptakan ketakutan dan kekacauan. Ia menyebut, "Harapannya, mahasiswa asing akan meninggalkan AS secara sukarela karena tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak."
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penahanan Kseniia Petrova, warga negara Rusia yang bekerja sebagai peneliti di Harvard Medical School. Ia ditahan setelah kedapatan membawa embrio katak yang tidak berbahaya tanpa melaporkannya di formulir bea cukai saat kembali ke AS. Alih-alih dikenai denda, visa pertukarannya dibatalkan dan ia langsung ditahan.
Dilansir dari CNN pada Minggu (13/4/2025), pengacara Petrova, Greg Romanovsky, menyebut hukuman terhadap kliennya tidak proporsional dan merupakan kesalahan yang tidak disengaja. Namun, pesan dari otoritas AS kepada ABC News menyatakan bahwa isi pesan di ponsel Petrova menunjukkan niat menyelundupkan material tersebut tanpa deklarasi. Kini, Petrova ditahan di fasilitas Imigrasi dan Bea Cukai di Louisiana sambil menunggu sidang pada 9 Juni, yang berpotensi berujung pada deportasi.
Romanovsky juga menambahkan bahwa Petrova bisa menghadapi bahaya jika dipulangkan, karena sikap vokalnya terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Ia menyebut penahanan itu "tidak hanya tidak perlu, tapi juga tidak adil."
Imbauan KBRI untuk Mahasiswa Indonesia di AS
Merespons situasi tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington DC mengimbau mahasiswa Indonesia di AS untuk lebih berhati-hati dalam menjaga status visa. Imbauan ini disampaikan melalui akun Instagram resmi @indonesiaindc, Minggu (13/4/2025).
KBRI mengingatkan pemegang visa F-1 dan J-1 untuk mematuhi semua ketentuan imigrasi, seperti:
Tidak bekerja tanpa izin resmi (di luar OPT/CPT)
Menjaga status sebagai mahasiswa penuh waktu
Tidak terlibat aktivitas ilegal, baik secara lokal maupun federal
Visa dapat dicabut jika ketentuan tersebut dilanggar, yang berakibat pada penolakan masuk kembali ke AS meskipun I-20 masih aktif.
Langkah Pencegahan dari KBRI:
Hubungi DSO jika ada perubahan status
Konsultasikan ke pengacara imigrasi jika perlu
Jangan kembali ke AS tanpa visa F-1/J-1 yang sah
Pastikan status imigrasi aman sebelum bepergian
Gunakan hotline perwakilan RI untuk bantuan hukum
Kelola media sosial dengan bijak
Aktif di komunitas lokal seperti Permias/Mata Garuda
Periksa dan perbarui dokumen penting
Manfaatkan layanan kampus untuk informasi visa
Simpan salinan cadangan dokumen
Hindari bepergian jika status visa belum jelas
Jaga kesehatan mental dan tetap terhubung dengan keluarga
Lapor ke DSO dalam 10 hari jika ada perubahan data
Tetap waspada, patuhi aturan, dan saling mendukung
KBRI menekankan pentingnya kewaspadaan di tengah meningkatnya pengawasan imigrasi, demi menghindari risiko pencabutan visa yang bisa berujung deportasi.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]