WahanaNews.co, Pyongyang - Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, terlihat menangis saat mengajak perempuan di negaranya untuk memiliki banyak anak.
Saat berbicara di hadapan ribuan perempuan dalam acara Pertemuan Ibu Nasional di Pyongyang pada Minggu (3/12/2023), Kim terlihat menyeka air mata dengan sapu tangan.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Dalam acara tersebut, Kim menyampaikan, "Ibu-ibu yang saya cintai, mencegah penurunan angka kelahiran dan memberikan pengasuhan anak yang baik adalah tanggung jawab rumah tangga yang perlu kita hadapi."
Ungkapannya diiringi dengan air mata yang mengalir, seperti yang dikutip oleh The Independent.
Kim menjelaskan bahwa Korea Utara menghadapi beberapa tugas yang harus diemban oleh para ibu.
Baca Juga:
Krisis Kelahiran di Korut: Pemerintah Penjarakan Dokter Aborsi dan Sita Alat Kontrasepsi
Tugas-tugas tersebut meliputi mendidik anak-anak agar dapat meneruskan revolusi, menghapus praktik non-sosialis, meningkatkan keharmonisan keluarga dan persatuan sosial, serta membangun gaya hidup yang bermoral.
Selain itu, Kim juga menyebut tugas ibu-ibu yakni menerapkan kebijakan komunis, saling membantu dan memimpin satu sama lain untuk mendominasi masyarakat.
"Menghentikan penurunan angka kelahiran, dan merawat anak-anak dengan baik serta mendidik mereka secara efektif," imbuh Kim.
Kim lalu berkata, "Ini adalah urusan keluarga kita bersama, yang perlu kita selesaikan dengan bergandengan tangan dengan ibu kita."
Permintaan Kim muncul sebagai usaha untuk meningkatkan tingkat kelahiran yang rendah di Korea Utara.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2023, tingkat kesuburan atau jumlah rata-rata anak yang lahir per perempuan di Korea Utara berada pada angka 1,8.
Laporan dari Hyundai Research Institute menyatakan bahwa tingkat kesuburan di Korea Utara mengalami penurunan signifikan setelah bencana kelaparan melanda negara tersebut pada tahun 1990-an.
Selain itu, Korea Utara pernah menerapkan program pengendalian kelahiran bayi pada tahun 1970 hingga 1980-an untuk mengurangi pertumbuhan populasi setelah Perang Korea.
Hyundai Research Institute juga menilai bahwa Korea Utara akan menghadapi kesulitan jika tidak memiliki cukup tenaga kerja.
Lembaga tersebut menyatakan, "Negara ini akan mengalami kesulitan dalam menghidupkan kembali dan mengembangkan industri manufaktur tanpa adanya tenaga kerja yang cukup."
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]