WahanaNews.co | Kedutaan Besar RI di Baghdad akan siapkan rencana darurat dan tidak menutup kemungkinan evakuasi di tengah konflik bersenjata akibat perseteruan politik Irak yang menewaskan sedikitnya 23 orang.
Dilansir dari BBC News Indonesia, Duta Besar Indonesia di Baghdad, Elmar Iwan Lubis, menuturkan bahwa kondisi Baghdad saat ini mulai tenang dan konflik bersenjata telah mereda sejak Selasa (30/8) pagi waktu setempat.
Baca Juga:
Balas Israel, Iran Disebut Bakal Tingkatkan Kekuatan Hulu Ledak
“Saat ini di siang hari sudah sedikit terdengar tembakan yang makin sporadis. Area konflik hanya terjadi di kawasan yang dinamakan sebagai Green Zone [Zona Hijau], sehingga tidak menyebar ke seluruh Baghdad,” papar Dubes Elmar.
Menurutnya, ada sebanyak 413 WNI di Baghdad.
Namun, data KBRI tersebut diakuinya tidak akurat karena sebagian besar adalah asisten rumah tangga yang masuk secara tidak prosedural dan “mayoritas korban trafficking dari Indonesia”.
Baca Juga:
Elon Musk Beberkan Alasan Tangguhkan Akun X Pemimpin Tertinggi Iran
“Kondisi WNI sejauh ini dalam keadaan aman dan KBRI telah menghimbau untuk tetap waspada, berada di lokasi masing-masing dan mematuhi jam malam serta menghubungi KBRI jika memerlukan bantuan,” paparnya.
Dubes Elmar Iwan Lubis mengatakan pihaknya terus memantau situasi dan saling berkomunikasi dengan sesama perwakilan asing di Baghdad.
Dia mengamini laporan yang menyebutkan bahwa staf Kedutaan Belanda telah dievakuasi ke gedung Kedutaan Jerman demi keamanan mengingat konflik berlangsung di Zona Hijau, area yang menampung sejumlah bangunan pemerintah dan kedutaan asing.
“Jika keadaan terus genting KBRI akan menyiapkan rencana darurat dan tidak menutup kemungkinan evakuasi,” sebutnya.
Nadhim Zahawi, dari pengungsi Irak hingga menjabat menteri keuangan Inggris berkunjung ke kota tempat warga Muslim dan Kristen bersama-sama bangun masjid dan gereja.
Konflik bersenjata ini dipicu oleh keputusan ulama Muslim Syiah, Moqtada al-Sadr, untuk mundur dari kancah politik.
Keputusan tersebut mengemuka dua hari setelah dia menyeru kepada semua partai politik dan sosok yang terlibat dalam politik Irak menyusul invasi pimpinan AS pada 2003 untuk mundur.
Para politisi pendukung Al-Sadr memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Oktober 2021 lalu, tetapi mereka tidak bisa mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru dengan blok terbesar kedua, yang sebagian besar terdiri dari partai-partai yang didukung Iran.
Setelah Al-Sadr memutuskan mundur dari politik, para anggota milisi Al-Sadr yang dikenal sebagai Brigade Perdamaian kemudian menyerbu Istana Kepresidenan lalu bentrok dengan pasukan keamanan Irak dan milisi yang bersekutu dengan Iran.
Milisi Irak yang loyal pada ulama Syiah dan politikus Muqtada al-Sadr bentrok dengan pasukan pemerintah di Zona Hijau di pusat kota Baghdad.
Milisi Irak yang loyal pada ulama Syiah dan politikus Muqtada al-Sadr bentrok dengan pasukan pemerintah di Zona Hijau di pusat kota Baghdad.
Pemerintah Iran menutup perbatasannya dengan Irak sebagai tanggapan atas kerusuhan tersebut, dan Kuwait mendesak warganya untuk segera meninggalkan negara itu.
Semua yang tewas adalah pendukung Sadr, sementara sekitar 380 lainnya terluka, kata petugas medis Irak, menurut kantor berita AFP.
Seorang juru bicara untuk Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan ia khawatir dengan peristiwa itu dan meminta agar dilakukan "langkah-langkah segera untuk meredakan situasi".
Mustafa al-Kadhimi, perdana menteri sementara Irak - dan sekutu Al-Sadr - mengumumkan jam malam nasional setelah kerusuhan menyebar ke beberapa kota lain.
Ia menangguhkan rapat kabinet dan memohon kepada Al-Sadr untuk turun tangan dan menghentikan pertempuran.
Saat ini, Al-Sadr telah mengumumkan mogok makan sampai kekerasan dan penggunaan senjata oleh semua pihak berhenti.
Al-Sadr, salah satu tokoh Irak yang paling dikenal dengan sorban hitamnya, mata gelap, dan postur tubuh yang tinggi, telah memperjuangkan rakyat Irak biasa yang kehidupannya dihantam oleh tingkat pengangguran tinggi, pemadaman listrik terus-menerus, dan korupsi.
Pria berusia 48 tahun itu telah menjadi tokoh dominan dalam kehidupan publik dan politik Irak selama dua dekade terakhir.
Milisinya yang disebut Tentara Mahdi muncul sebagai salah satu milisi paling kuat yang memerangi AS dan tentara baru Irak setelah invasi 2003 yang menggulingkan mantan penguasa Saddam Hussein.
Ia kemudian mengganti nama milisinya menjadi Brigade Perdamaian, dan mereka tetap menjadi salah satu milisi terbesar di kelompok paramiliter Pasukan Mobilisasi Populer.
Meski Tentara Mahdi pernah punya keterkaitan dengan Iran, Al-Sadr belakangan menjauhi Iran dan memposisikan dirinya sebagai seorang nasionalis yang ingin mengakhiri pengaruh AS dan Iran dalam urusan dalam negeri Irak.
Itu pula sebabnya Al-Sadr berseberangan dengan blok terbesar kedua di parlemen Irak, yang utamanya beranggotakan partai-partai politik dukungan Iran. [gun]