WahanaNews.co | Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, dampak dari kudeta dan Covid-19 di Myanmar memaksa hampir
setengah penduduk negara itu terjebak ke dalam jurang kemiskinan pada 2022.
Pada Kamis (29/4/2021), analisis dari Program Pembangunan PBB (UNDP) memperingatkan
jika situasi keamanan dan ekonomi tidak kunjung stabil, sebanyak 25 juta orang
dapat hidup dalam kemiskinan pada 2022.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Angka tersebut, sekitar 48 persen dari
jumlah penduduk di negara yang tengah dilanda kudeta itu.
"Kami menghadapi tragedi yang
sedang berlangsung," ucap Administrator UNDP, Achim Steiner, seperti
dikutip CNN, Jumat (30/4/2021).
"Kami telah mematahkan rantai
pasokan, (mengganggu) pergerakan orang dan pergerakan barang dan jasa, sistem
perbankan pada dasarnya ditangguhkan, pengiriman uang tidak dapat dijangkau,
pembayaran keamanan sosial yang akan tersedia untuk rumah tangga yang lebih
miskin tidak dibayarkan. Ini hanyalah sebagian dari dampak langsung," kata
Steiner.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
Krisis politik yang berlarut-larut,
lanjur Steiner jelas akan memperburuk keadaan di Myanmar.
Meningkatnya biaya makanan, kehilangan
pendapatan dan upah yang signifikan, runtuhnya layanan dasar seperti perbankan
dan perawatan kesehatan, jaring pengaman sosial yang tidak memadai kemungkinan
besar akan mendorong jutaan orang yang sudah rentan berada di bawah garis
kemiskinan sebesar US$ 1,10 per hari atau sekitar Rp 15.380.
Menurut UNDP, tingkat kemiskinan itu
belum terlihat di Myanmar sejak 2005, saat negara itu diperintah oleh rezim
militer sebelumnya.
Menurut laporan tersebut, selama 15
tahun terakhir, Myanmar mampu mengurangi separuh tingkat kemiskinannya.
Pada 2005, dari 48,2 persen menjadi
24,8 persen di 2017.
Namun presentasi itu masih menunjukkan
bahwa Myanmar merupakan negara termiskin di Asia.
Sepertiga penduduknya diperkirakan
hidup dengan pendapatan yang rendah atau tak menentu.
Hal tersebut merupakan salah satu
guncangan ekonomi yang dapat menyebabkan kemiskinan.
Pandemi virus Corona
menambah guncangan itu.
Pada tahun 2020 akhir, sebanyak 83
persen rumah tangga di Myanmar melaporkan pendapatannya berkurang sekitar
setengahnya lantaran pandemi, demikian menurut laporan itu.
Guncangan kedua muncul pada 1 Februari
2021, ketika panglima angkatan bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, menggulingkan kekuasaan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang
terpilih secara demokratis.
Bulan-bulan berikutnya aksi protes
terjadi di seluruh negeri.
Muncul gerakan pembangkangan sipil, di
mana ribuan pekerja kerah biru dan putih, termasuk dokter dan dosen turut turun
ke jalan.
Hal itu sengaja dilakukan untuk
mengganggu perekonomian dan menggeser posisi jenderal agar pemerintahan kembali
ke tangan yang sah, dan demokrasi segera pulih.
Pasukan keamanan secara brutal menekan
protes dengan tindakan keras yang mematikan dan sistematis.
Polisi dan tentara menembak mati orang
di jalan-jalan dan secara sewenang-wenang menahan orang yang menolak kudeta.
Hingga kini, menurut laporan Lembaga
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) 759 orang telah dibunuh oleh
pasukan keamanan sejak kudeta, dan lebih dari 4.500 ditangkap.
Berdasarkan laporan UNDP, krisis
ekonomi yang semakin parah dari pandemi dan kudeta yang dilakukan militer
menghapus kemajuan yang telah dibuat Myanmar dalam mengurangi kemiskinan.
Dampak pandemi saja, lanjut UNDP, akan meningkatkan tingkat kemiskinan Myanmar dari 24,8 persen
menjadi 36,1 persen.
Jika kudeta terus berlanjut tingkat
kemiskinan akan melonjak hingga 48, 2 persen.
"Pada saat itu, guncangan dari
krisis akan mengakibatkan hilangnya gaji dan pendapatan yang signifikan,
terutama dari usaha kecil, dan penurunan akses ke makanan, layanan dasar dan
perlindungan sosial," kata laporan itu.
Kemiskinan perkotaan diperkirakan akan
meningkat tiga kali lipat.
Sebab, kota-kota yang paling terpukul
oleh Covid-19 juga menjadi menjadi titik fokus tindakan keras militer untuk
meredam pengunjuk rasa.
Menurut penelitian, wanita dan
anak-anak akan menanggung beban terberat.
Myanmar sudah memiliki tingkat
kemiskinan anak yang tinggi dan krisis gabungan yang "menempatkan seluruh
generasi dalam bahaya," kata Dana Anak-Anak PBB (UNICEF).
Meningkatnya kemiskinan, artinya,
kecil kemungkinan anak-anak tetap bersekolah.
Selain itu, hilangnya layanan utama
dalam pendidikan dan perawatan kesehatan.
Laporan itu juga menyebutkan rumah
tangga yang dipimpin perempuan lebih rentan.
Karena, perempuan lebih mungkin
dipekerjakan di berbagai sektor yang mudah terkena virus Corona, seperti industri garmen.
Sementara saat di rumah ia harus
mengurus dan merawat anak-anaknya.
Kedua krisis tersebut terikat satu
sama lain.
Penggulingan pemerintah sipil telah
memperkuat dampak virus Corona.
Menurut dokter di Myanmar, tes Covid-19
di negara itu telah gagal sejak kudeta.
Sementara itu, perebutan kekuasaan
telah "menggagalkan" harapan untuk pemulihan pasca pandemi, kata
laporan itu.
Kondisi keamanan yang memburuk
menyebabkan gangguan lebih lanjut pada rantai pasokan yang sudah terganggu oleh
Covid.
Pelabuhan-pelabuhan utama lumpuh
karena agen bea cukai, buruh pelabuhan, pengemudi truk, dan pekerja kereta api
berhenti bekerja.
Beberapa perusahaan pengiriman untuk
sementara menghentikan layanan ke Myanmar, sambung laporan itu.
Sekitar 80 persen perdagangan Myanmar
dilakukan melalui laut, dan UNDP memperkirakan perdagangan di pelabuhan turun
hingga 64 persen dalam dua bulan setelah kudeta.
Gangguan serupa pada transportasi dan
pergerakan tenaga kerja dan barang, industri pertanian serta tekanan pada mata
uang negara, kyat.
"Di seluruh masyarakat Myanmar,
ini merupakan kemunduran besar, tidak hanya dalam pembangunan tetapi juga dalam
hal ketidaksetaraan dan kerentanan," kata Steiner.
"Orang akan berjuang untuk
bertahan hidup," lanjutnya.
Akibatnya, krisis kemanusiaan tengah
berlangsung.
Program Pangan Dunia (WFP) PBB pekan
lalu memperingatkan bahwa "kelaparan dan keputusasaan" meningkat di
Myanmar.
Mereka juga memperkirakan, 3,4 juta
orang akan menderita di seluruh negeri dalam enam bulan ke depan.
"Secara keseluruhan, Myanmar
berada di ambang kehancuran ekonomi dan berisiko menjadi negara Asia gagal
berikutnya," kata laporan UNDP.
Untuk mencapai kesimpulannya, UNDP
menggunakan berbagai sumber, termasuk data yang dipublikasikan dari Bank Dunia,
Brookings Institution, laporan dari
badan-badan PBB lainnya, laporan media dan survei rumah tangga dari Myanmar.
Karena data real-time sulit diperoleh, UNDP mengatakan jika berbagai krisis
Covid-19, hak asasi manusia, demokratisasi, dan keamanan meluas lebih jauh,
perkiraannya mungkin lebih buruk dari yang diperkirakan --terutama untuk kelompok rentan seperti etnis minoritas dan
pengungsi internal.
"Banyak hal akan tergantung pada
apa yang terjadi di Myanmar selama dua bulan ke depan," ujar Steiner. [dhn]