WahanaNews.co, Jakarta - Kudeta militer mengguncang Bolivia, Rabu waktu setempat. Tentara dan tank-tank kendaraan lapis baja menyerbu gedung pemerintah di ibu kota La Paz.
Menurut kantor media pemerintah ABI, mobilisasi militer terjadi pukul 14.30 waktu lokal. Dalam rekaman kejadian, tentara dengan senjata lengkap berkumpul di alun-alun utama La Paz, Murillo Plaza, tempat kantor eksekutif dan legislatif nasional berada.
Baca Juga:
Kudeta Guncang Gabon, Kekuasaan 56 Tahun Ali Bongo Berakhir
Merujuk Associated Press (AP), kendaraan lapis baja juga menabrak pintu istana presiden. Dalam keterangannya di depan para tentara yang bersiaga, panglima militer Bolivia yang memimpin kudeta tersebut, Jenderal Juan Jose Zuniga, meneriakkan kebangkitan melawan pemerintahan Presiden Luis Arce dan mengatakan hendak merestrukturisasi demokrasi di negara tersebut.
"Angkatan Bersenjata bermaksud merestrukturisasi demokrasi, menjadikannya demokrasi sejati dan tidak dijalankan oleh segelintir orang selama 30, 40 tahun," katanya di luar kantor kepresidenan, dikelilingi oleh tentara dan delapan tank, dimuat AFP, melansir CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2024).
Presiden Arce menanggapi ini dengan pidato yang disiarkan di televisi bersama para menterinya di dalam istana presiden. Ia mengecam tindakan militer tersebut.
Baca Juga:
Negara di Benua Afrika Banyak Alami Kudeta, Ini Penyebabnya
Dirinya mendesak rakyat Bolivia untuk berorganisasi dan melakukan mobilisasi melawan kudeta. Ini, tegasnya, demi mendukung demokrasi.
"Kami tidak bisa membiarkan upaya kudeta sekali lagi merenggut nyawa rakyat Bolivia. Kami ingin mengajak semua orang untuk membela demokrasi," kata Arce dari kediaman presiden, Casa Grande, dikutip CNN International.
Wakil Presiden David Choquehuanca juga mengutuk kudeta itu karena dilakukan pada pemerintah yang dipilih secara demokratis. Mantan presiden Evo Morales juga menulis di media sosial (medos) X bahwa "kudeta sedang terjadi" dan juga mendesak "mobilisasi nasional untuk membela demokrasi".
Apa yang Terjadi?
Mengutip AFP, rumor mengatakan bahwa hal ini terkait pemecatan Zuniga. Ia tiba-tiba muncul di televisi Senin dan mengatakan akan menangkap Morales.
Hal ini akan dirinya lakukan jika presiden pribumi pertama Bolivia itu mencalonkan diri lagi di 2025 meskipun sudah didiskualifikasi. Morals sendiri merupakan sosok yang sangat populer sampai ia mencoba melanggar konstitusi dan mencalonkan diri untuk masa jabatan keempat pada tahun 2019.
Kala itu, tokoh sayap kiri dan mantan pemimpin serikat pekerja coca tersebut memenangkan pemungutan suara lagi. Namun ia terpaksa mengundurkan diri di tengah protes mematikan atas dugaan kecurangan pemilu dan meninggalkan Bolivia.
Namun dirinya kembali setelah sekutunya, yang dalam pemilu 2020 menjadi musuh, Luis Arce memenangkan kursi kepresidenan pada Oktober tahun yang sama. Sejak itu Bolovia telah mengalami beberapa periode ketidakstabilan politik dalam beberapa tahun ini.
Terbaru terjadi di Januari lalu. Di mana para pendukung Morales melakukan blokade jalan selama berhari-hari untuk memprotes diskualifikasi Morales.
Respons AS-Eropa
Negara-negara dunia merespons cepat apa yang terjadi di Bolivia. Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden misalnya mengaku terus mencermati kejadian-kejadian di Bolivia.
"AS memantau dengan cermat situasi di Bolivia dan menyerukan ketenangan," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional.
Hal sama juga dikatakan pemimpin negara-negara Amerika Latin. Pemimpin Chile, Ekuador, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Venezuela menyerukan agar demokrasi dihormati.
"Saya pecinta demokrasi dan saya ingin demokrasi berlaku di seluruh Amerika Latin. Kami mengutuk segala bentuk kudeta di Bolivia," tegas Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menulis di X.
"Mengutuk mobilisasi ... tentara harus tunduk pada kekuasaan sipil yang dipilih secara sah," kata Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara Amerika (OAS), sebuah organisasi pan-Amerika, Luis Almagro.
Hal sama juga diteriakkan negara Eropa. Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez menyerukan penghormatan terhadap demokrasi dan supremasi hukum.
Uni Eropa (UE) mengatakan mereka menentang setiap upaya untuk mengganggu tatanan konstitusional di Bolivia dan menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Kepala Kebijakan Ekonomi UE Josep Borrell menambahkan bahwa mereka menyatakan solidaritas dengan pemerintah Bolivia dan rakyatnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]