WahanaNews.co | Kabar mengejutkan datang dari Pengadilan Tinggi Prancis. Perusahaan semen raksasa asal Prancis, Lafarge, harus menghadapi penyelidikan lantaran kedapatan mendanai pergerakan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah utara.
‘Kemunafikan’ Prancis pun lantas dipereteli, salah satunya oleh Tallha Abdulrazaq, seorang akademisi yang mendalami kontraterorisme dan keamanan di Institut Strategi dan Keamanan Universitas Exeter.
Baca Juga:
Otoritas Iran Tangkap 11 Tersangka Terkait Ledakan Bom yang Menewaskan 84 Orang
Menurut Abdulrazaq, tindakan pemerintahan Macron di sekitar korporat raksasa semen itu, menunjukkan kemunafikan dalam sikap negara terhadap komunitas Muslim di sana.
Seperti diketahui, Prancis seringkali menyudutkan Islam, karena mengecap para pemeluknya identik dengan teroris.
Misalnya pada 16 Oktober 2020, di kala dunia diselimuti pandemi, guru berusia 47 tahun Samuel Paty dipenggal di pinggiran kota kelas menengah Paris. Sesudah itu juga Macron melancarkan kebijakan dan pernyataan menyudutkan Islam.
Baca Juga:
ISIS Klaim Bertanggung Jawab atas Ledakan Bom Mematikan di Iran
Pengetatan aturan Presiden Prancis Emmanuel Macron, terhadap isi ceramah pemuka agama Islam pun lahir.
“Prancis bermuka dua. Terutama karena menargetkan Muslim di dalam negeri melalui undang-undang Islamofobia yang berusaha membatasi kebebasan mereka dan membungkam mereka,” kata Abdulrazaq, dilansir Aljazeera, 17 September 2021.
“Sementara itu, Prancis secara aktif terlibat dalam memberikan izin kepada perusahaan multinasional, untuk melakukan bisnis senilai puluhan juta dolar, kepada salah satu kelompok ekstremis paling kejam dan terkenal di dunia,” katanya lagi.
Dalam laporan Aljazeera, dinukil Pikiran-rakyat.com, ISIS disuntik dana 13 juta euro atau sekira 15,3 juta dolar AS.
“Kemunafikan itu mencengangkan.”
Rayan Freschi, seorang peneliti yang berbasis di Prancis untuk kelompok kampanye CAGE, juga mengatakan bahwa setelah serangan Bataclan 2015, Prancis dengan jelas menutup mata atas kejahatan Assad terhadap kemanusiaa, sekaligus menetapkan kebijakan anti-Muslim yang sangat kuat di dalam negeri di bawah penyamaran anti-terorisme.
“Pendekatan Prancis mengantarkan kebijakan kejam,” kata Freschi, merujuk bahwa negara menutup lebih dari 615 masjid, sekolah, atau bisnis yang dijalankan oleh Muslim.
Menurut dokumen yang diterbitkan oleh harian Prancis Liberation selama beberapa minggu terakhir, pejabat intelijen Prancis mengetahui kesepakatan antara Lafarge dan ISIS pada tahun 2014.
Laporan Liberation mengungkapkan bahwa sebuah dokumen dari Direktorat Jenderal Keamanan Eksternal (DGSE), tertanggal 26 Agustus 2014 dan diberi label sebagai “pertahanan rahasia” menunjukkan, bahwa negara Prancis “sangat menyadari kondisi di mana Lafarge mempertahankan aktivitasnya di Suriah, di wilayah yang sebagian diduduki oleh Negara Islam”.
"Ini adalah dokumen yang tidak meninggalkan ruang untuk keraguan," kata surat kabar Prancis itu.
“Kesepakatan ditemukan antara produsen semen dan IS untuk kelanjutan kegiatan komersial,” tambahnya.
Menurut laporan Anadolu Agency, hubungan antara Lafarge dan badan intelijen Prancis dimulai pada 22 Januari 2014, ketika direktur keamanan perusahaan Jean-Claude Veillard mengirim email ke direktorat intelijen kementerian dalam negeri.
Dalam e-mailnya, Veillard mengatakan perusahaan perlu menjaga hubungan dengan "aktor lokal" untuk dapat melanjutkan operasinya di Suriah.
“Lafarge tampaknya membuat kehadiran mereka di Suriah terbuka dengan pengetahuan dan keterlibatan negara Prancis untuk tujuan spionase dan pengumpulan intelijen,” kata Tallha Abdulrazaq.
Berkas itu juga mengungkapkan bahwa intelijen Prancis, tidak memperingatkan perusahaan bahwa mereka melakukan kejahatan, demikian dikutip dari Anadolu Agency.
Terpisah, pekan ini, Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengumumkan bahwa negaranya telah membunuh salah satu pemimpin ISIS di wilayah Sahara, yakni Abu al-Wahid al-Sahrawi.
Kematian pemimpin ISIS ini, diklaim Marcon sebagai kesuksesan bsar bagi Prancis.
"Ini menjadi kesuksesan besar lainnya dalam pertempuran kita melawan kelompok-kelompok teroris di Sahel," sebut Macron dalam pernyataan di Twitternya.
Meski begitu, Marcon belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai kabar ini.
Namun, desas-desus kematian pemimpin ISIS tersebut telah beredar selama berminggu-minggu di Mali. [dhn]