WahanaNews.co, Jakarta – Setidaknya 10 ribu sampai 15 ribu warga di sebuah kota Darfur Barat, Sudan, tewas akibat kekerasan etnis yang dilakukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan milisi Arab sekutunya pada tahun 2023.
Laporan yang diungkap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tersebut diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB oleh pengawas sanksi independen itu mengaitkan jumlah korban di El Geneina dengan sumber-sumber intelijen dan membandingkannya dengan perkiraan PBB yang menyebutkan sekitar 12 ribu orang telah terbunuh di seluruh Sudan sejak perang antara tentara Sudan dan RSF meletus tahun lalu.
Baca Juga:
Sukseskan Pilkada 2024, Polres Subulussalam Berikan Pelatihan Kemampuan Sat Linmas
Para pengawas juga menjelaskan tuduhan "kredibel" tentang dukungan militer dari Uni Emirat Arab kepada RSF "beberapa kali dalam seminggu" lewat wilayah Amdjarass di Chad utara. Seorang jenderal tinggi Sudan menuduh UEA pada bulan November mendukung upaya perang RSF.
Dalam sebuah surat kepada para pengawas, UEA mengatakan 122 pesawat diterbangkan untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Amdjarass untuk membantu warga Sudan yang melarikan diri dari perang.
Seorang pejabat UEA mengatakan pihaknya menyampaikan undangan kepada pengawas PBB untuk mengunjungi rumah sakit lapangan di Amdjarass "guna mempelajari secara langsung upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh UEA untuk membantu meringankan penderitaan yang disebabkan oleh konflik yang terjadi saat ini".
Baca Juga:
Kerap Diserang Israel, PBB Sebut Argentina Jadi Negara Pertama Tarik Pasukan dari UNIFIL
Menurut PBB, sekitar 500 ribu orang melarikan diri dari Sudan ke Chad timur, beberapa ratus kilometer di selatan Amdjarass, mengutip Reuters, Sabtu (20/1/2024).
Dalam laporan itu, para pengawas, menyebutkan antara April hingga Juni tahun lalu, El Geneina mengalami "kekerasan yang intens".
Mereka juga menuduh RSF dan sekutunya menargetkan suku Masalit dari etnis Afrika dalam serangan-serangan yang "dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang sekaligus kejahatan terhadap kemanusiaan."
RSF sebelumnya telah membantah tuduhan tersebut dan mengatakan setiap tentaranya yang terbukti terlibat akan diadili. Sampai saat ini belum ada tanggapan resmi dari RSF mengenai laporan tersebut.
"Serangan tersebut direncanakan, dikoordinasikan, dan dieksekusi oleh RSF dan milisi Arab sekutunya," tulis para pengawas sanksi dalam laporan tahunan mereka kepada Dewan Keamanan PBB.
Laporan Reuters tahun lalu hasil wawancara dengan ratusan penyintas, menggambarkan pembantaian horor di El Geneina dan di rute sepanjang 30 km dari kota menuju perbatasan dengan Chad saat orang-orang melarikan diri.
Ini serupa dengan hasil laporan para pengawas independen PBB yang mengatakan antara tanggal 14 dan 17 Juni, sekitar 12 ribu orang melarikan diri dari El Geneina dengan berjalan kaki menuju Adre di Chad. Suku Masalit adalah mayoritas di El Geneina sampai serangan tersebut memaksa mereka melakukan eksodus massal.
"Ketika sampai di pos pemeriksaan RSF, perempuan dan laki-laki dipisahkan, dilecehkan, digeledah, dirampok, dan diserang secara fisik. RSF dan milisi sekutunya tanpa pandang bulu menembak kaki ratusan orang untuk mencegah mereka melarikan diri," kata para pengawas.
"Para pemuda menjadi sasaran utama dan diinterogasi mengenai etnis mereka. Jika diidentifikasi sebagai Masalit, banyak yang dieksekusi dengan tembakan di kepala. Para perempuan diserang secara fisik dan seksual. Penembakan membabi buta juga melukai dan membunuh perempuan dan anak-anak," menurut laporan tersebut.
Setiap orang yang berbicara dengan para pengawas menyebutkan "banyak mayat di sepanjang jalan, termasuk mayat perempuan, anak-anak dan pemuda." Para pengawas juga melaporkan adanya kekerasan seksual yang "meluas" terkait konflik yang dilakukan oleh RSF dan milisi yang bersekutu.
[Redaktur: Alpredo Gultom]