WahanaNews.co, Jakarta - Remuk redam oleh gunungan utang, Pakistan International Airlines (PIA) menyatakan diri nyaris bangkrut, setelah pemerintah menolak mensubsidi perusahaan negara yang terus-terusan merugi.
Alhasil, pemerintah Pakistan merencanakan privatisasi PIA, serta menyerahkan pengelolaan bandar udara kepada pihak swasta. Langkah itu diputuskan setelah Pakistan menyetujui pengetatan anggaran bulan Juni lalu, sebagai syarat pinjaman Dana Moneter Internasional yang sebesar USD 3 miliar.
Baca Juga:
29 Orang Meninggal Akibat Cuaca Hujan dan Badai Petir di Pakistan
Juru bicara PIA, Abdullah Hafiz Khan, mengatakan kepada DW betapa perusahaan mencatatkan kerugian senilai miliaran Rupee dan sebabnya harus dijual demi menutupi utang-utangnya.
Dia mengakui, PIA berada dalam daftar prioritas privatisasi aktif, yang artinya penjualan akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Maskapai yang berdiri sejak 77 tahun lalu itu saat ini memperkerjakan sekitar 11.000 pegawai di Pakistan.
Jawaid Akhtar, seorang pensiunan PIA, mengkhawatirkan langkah privatisasi akan dibarengi perampingan alias pemecatan massal. "Umumnya, para pegawai merasa sangat khawatir akan masa depannya. Mereka takut tidak bisa menafkahi keluarga di tengah krisis ekonomi," kata dia.
Baca Juga:
Asif Ali Zardari Terpilih Sebagai Presiden ke-14 Pakistan dalam Pemilu 2024
Kepada DW, pensiunan PIA lain, Rubina Khan, mengaku khawatir akan mendapat pemotongan dana pensiun akibat pengetatan anggaran.
Dibangkrutkan swasta?
Ancaman pemecatan terlihat kontras dengan tingginya gaji jajaran eksekutif perusahaan, yang menurut seorang pegawai PIA, "dibanjiri kemewahan dan hak privilese," tuturnya secara anonim.
Buruknya kinerja keuangan perusahaan ditengarai antara lain disebabkan korupsi. Suhail Mukhtar, seorang fungsionaris serikat buruh lokal, mengklaim PIA pernah terbukti membeli pesawat dengan harga yang sudah digelembungkan.
Pembelian pesawat dari Sri Lanka itu mencatatkan biaya senilai USD 7.500 per jam terbang bagi PIA, ketimbang USD 4.500 per jam seperti yang lazimnya dibayarkan maskapai lain. "Kami membeli dua pesawat dengan harga ini, yang menciptakan kerugian senilai 17 sampai 18 miliar Rupee (USD 64 juta)."
Qais Aslam, pakar penerbangan Pakistan, mengatakan kehancuran PIA berawal ketika pengusaha swasta berkoneksi politik yang "ingin mendirikan maskapai pribadinya sendiri, diangkat ke jajaran eksekutif PIA," oleh pemerintah. "Akibatnya, PIA hancur dan maskapai mereka kini untung."
Pengetatan anggaran negara
Shahid Mahmud, seorang ekonom di Islamabad, menilai perusahaan negara seperti PIA sering dimanfaatkan pemerintah dan militer untuk menempatkan orang-orang kepercayaan.
"Akibatnya, keuangan perusahaan mengalami pendarahan. Sebab itu harus diprivatisasi," tuturnya.
Menteri Privatisasi Pakistan, Fawad Hasan Fawad, menepis tuduhan korupsi di balik langkah penjualan perusahaan negara. Dia mengklaim, setiap tahap privatisasi dilakukan oleh bank internasional dan sebabnya menjamin keterbukaan maksimal.
"Pakar-pakar valuasi aset perusahaan tidak berada di bawah kontrol pemerintah. Proses penawaran setelah valuasi juga terbuka bagi semua," tuturnya.
"Di tengah krisis ekonomi saat ini, adalah tidak mungkin bagi pemerintah untuk menjembatani defisit besar sekitar 150 miliar Rupee per tahun untuk menerbangkan, rata-rata, antara 10 sampai 12 pesawat."
Langkah pemerintah berpotensi menyulut konflik dengan serikat buruh dan Partai Buruh Rakyat Pakistan (WPP), yang kini sudah mendekati pegawai PIA untuk dimobilisasi. "Pemerintah mendorong pegawai PIA ke arah kelaparan," kata Aliya Bhukshal dari WPP.
"Kami tidak akan berdiam diri dan akan habis-habisan melawan langkah ini."
[Redaktur: Sandy]