WahanaNews.co
| Nyaris tiga bulan kudeta militer, kekerasan
di Myanmar belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda.
Kudeta
telah memicu gelombang protes besar-besaran. Korban jiwa terus berjatuhan.
Sebanyak 739 orang dibunuh pasukan keamanan Myanmar dan 3.370 orang ditahan.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Sejumlah
pengamat internasional hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khawatir, jika
dibiarkan kisruh kudeta ini akan menggiring Myanmar menuju perang sipil dan
berakhir sebagai negara gagal (failed state).
Kemungkinan
perang sipil semakin besar di Myanmar, lantaran tidak ada satu pihak pun yang
mau menahan diri.
Negara
Barat beramai-ramai terus menekan junta militer Myanmar agar segera
mengembalikan kekuasaan pemerintahan dan menghentikan kekerasan terhadap
demonstran anti-kudeta dengan melontarkan kecaman hingga sanksi.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
Namun
tak pernah dihiraukan oleh junta.
Rekam
jejak junta sejak pergolakan politik pada 1988 di Myanmar menunjukkan betapa
bebal rezim militer.
Meski
diserbu berbagai desakan bahkan sanksi internasional, junta tetap bergeming.
Kondisi itu mendorong negara ASEAN berinisiatif menggelar pertemuan tingkat
tinggi.
KTT
itu digelar di Jakarta, Sabtu (24/4/2021) ini.
Menurut
sejumlah sumber diplomat yang mengetahui rapat ASEAN itu, pertemuan akan fokus
membujuk junta militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap warga
sipil.
Mampukah
ASEAN mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar? Bisakah ASEAN membujuk Jenderal
Min Aung Hlaing?
Pengamat
hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menganggap
pengalaman-pengalaman konflik Myanmar di masa lalu dapat menjadi pelajaran
untuk mengatasi masalah saat ini.
Rezasyah
melihat, junta militer tak bisa ditekan.
Menurut
Rezasyah, ASEAN harus pintar "mengambil hati" junta yang selama ini
memang menganggap blok negara itu sebagai "satu-satunya rumah baginya yang
paling aman, paling terhormat, dan paling santun."
Ia
kemudian mencontohkan bahwa ASEAN bisa mengajak junta untuk "bersama-sama
membangun Myanmar, tapi pemimpinnya tetap mereka [junta]. Harus ditimbulkan
perasaan bahwa dia itu di atas. Driver, bukan passenger. Harus
ditimbulkan bahwa dia itu di atas, pemimpin."
Sikap
ASEAN
Sikap
anggota ASEAN sendiri mengenai krisis di Myanmar tak senada. Ada yang mengecam,
abai, atau bahkan bertendensi mendukung.
Indonesia
sejak awal sudah jelas posisinya, menyarankan agar keamanan dan kesejahteraan
rakyat Myanmar diprioritaskan.
Indonesia
juga mendesak supaya junta menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan serta
kekuatan menghadapi pedemo di Myanmar.
Hal
tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, saat konferensi
pers via daring, Maret lalu.
Menurutnya,
Indonesia khawatir akan keberlangsungan warga sipil dan transisi demokrasi.
"Mengkhawatirkan
masih terus terjadinya penangkapan warga sipil, mengkhawatirkan karena situasi
ini dapat mengancam keberlangsungan transisi demokrasi, dan mengkhawatirkan
karena jika tidak diselesaikan dengan baik maka dapat mengancam perdamaian dan
keamanan kawasan," kata Retno.
Indonesia
bahkan menginisiasi pertemuan antar pimpinan negara ASEAN membahas soal krisis
politik di Myanmar.
Inisiasi
itu didukung Brunei, selaku ketua blok, dan Singapura.
Pada
Februari lalu, Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, menolak
sanksi yang diberikan kepada militer Myanmar.
Menurutnya,
sanksi yang diberikan akan merugikan masyarakat. Jika sanksi tetap diberlakukan
akan berimbas pada kemiskinan yang merajalela.
Sebab,
menurut dia, orang yang paling menderita adalah rakyat biasa di Myanmar.
Sementara
Thailand, Filipina dan Kamboja menganggap kudeta yang terjadi di Myanmar
sebagai urusan dalam negeri dan tak perlu berkomentar lebih jauh.
Thailand
sempat dituduh mendukung kudeta Myanmar, lantaran Perdana Menteri Prayut Chan
o-Cha sempat bertemu Menteri Luar Negeri versi junta, U Wanna Maung Lwin.
Namun
Prayut membantah tuduhan tersebut.
"Hal
itu tidak berarti saya mendukung segala hal. Dia tidak meminta saya
melakukannya. Saya hanya mendengarkan apa yang dia sampaikan kepada saya, itu
saja," ujar Prayut.
Namun,
dia mengatakan, Thailand tidak mengikuti langkah Indonesia untuk menjadi
penengah guna mencari jalan keluar bagi krisis politik di Myanmar.
Tak
ubahnya Indonesia, Malaysia juga meminta pasukan keamanan Myanmar menghentikan
tindakan kerasnya dan membebaskan para tahanan.
"Perwakilan
ASEAN harus diizinkan untuk bertemu dengan semua pihak yang terlibat,"
tulis Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishammudin Husein, dalam akun Twitter.
Laos
sendiri tak menyatakan sikapnya sejak kudeta berlangsung. Begitu juga dengan
Brunei, hingga akhirnya ia mendukung inisiasi Indonesia soal KTT. [dhn]