WahanaNews.co | Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengungkapkan Asia timur berpotensi menjadi 'Ukraina' selanjutnya menyusul intimidasi China dan Korea Utara di kawasan tersebut.
Pernyataan itu diutarakan Kishida saat bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington pada pekan lalu.
Baca Juga:
Atasi Krisis Angka Kelahiran, Jepang Bentuk Badan Khusus
Lawatan Kishida ke AS itu menutup turnya keliling negara G7, kecuali Jerman, menjelang keketuaan Jepang dalam di kelompok itu tahun ini.
Kishida mengaku sangat khawatir terkait situasi keamanan di Asia Timur yang belakangan semakin panas karena "ada percobaan perubahan status quo dengan kekuatan paksa di sekeliling Jepang seperti Laut China Timur dan Laut China Selatan.
"Ukraina bisa menjadi [seperti] Asia timur di masa mendatang," kata Kishida seperti dikutip VOA.
Baca Juga:
Pembunuh Mantan Perdana Menteri Jepang Telah Diberi Dakwaan Oleh Jaksa
Ia kemudian berujar, "situasi di sekitar Jepang semakin parah dengan upaya mengubah status quo secara sepihak menggunakan kekerasan di Laut Cina Timur dan Laut China Selatan."
Pernyataan Kishida merujuk pada agresivitas China terhadap Taiwan dan aktivitas militer Beijing di Asia Pasifik.
Ia juga menyebut provokasi nuklir dan rudal Korea Utara yang terus mengancam di kawasan Asia timur.
Pada Agustus 2022, China meluncurkan lima rudal yang mendarat di perairan Jepang.
Aksi ini disebut sebagai peringatan Beijing ke Tokyo yang dianggap mendukung Taiwan.
Di bulan yang sama, China meluncurkan 11 rudal Dongfeng ke perairan dekat Taiwan.
Ketika itu, Beijing mengklaim tengah menggelar latihan militer di sekitar pulau tersebut.
Latihan ini sebagai respons kunjungan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat, Nancy Pelosi, ke Taiwan.
Bagi China, lawatan tersebut sebagai bentuk dukungan Washington terhadap Taipei yang ingin memerdekakan diri.
China selalu mengklaim Taiwan bagian dari wilayahnya, tetapi pulau itu tak patah arang berusaha melepaskan diri.
Beijing tak segan mengambil tindakan militer jika ada negara yang ikut campur soal masalah internal, terutama Taiwan.
"China perlu membuat keputusan strategis bahwa mereka akan mematuhi aturan internasional yang telah ditetapkan dan bahwa mereka tidak dapat dan tidak akan mengubah tatanan internasional dengan cara yang bertentangan dengan aturan ini," kata Kishida saat berbicara di School of Advanced International Studies Universitas Johns Hopkins, AS. [rgo]