Oleh SIMON SARAGIH
Baca Juga:
China Klaim Sebagai Negara Teraman di Dunia
BERTAHUN-TAHUN Asia semakin terintegrasi secara ekonomi dengan China sebagai episentrumnya.
Akan tetapi, lanskap Asia berevolusi menjadi wilayah yang memanas.
Baca Juga:
Inflasi China Tembus Rekor Dalam 2 Tahun, Gegara Daging Babi?
Oleh sebab itu, Asia kini dipaksa berubah haluan dari fokus pada kerja sama ekonomi ke isu non-ekonomi, pilar kesinambungan kemakmuran.
Dari sisi ekonomi, lebih dari separuh dari total perdagangan Asia dengan dunia terjadi dengan sesama Asia.
Perdagangan intra-Asia 57,5 persen dari total perdagangan Asia dengan dunia (2019).
Ini di atas 56,5 persen yang tercatat sepanjang 2012–2018, berdasarkan informasi dari Asian Economic Integration Report 2021: Making Digital Platforms Work for Asia and the Pacific-Highlights (adb.org).
Aliran investasi juga semakin didominasi aliran keluar masuk sesama Asia.
Aliran investasi asing ke negara berkembang Asia sebesar 535 miliar dollar AS pada 2020.
Aliran investasi yang keluar dari Asia sebesar 389 miliar dollar AS.
Total aliran investasi asing di dunia pada 2020 sebesar 739,87 miliar dollar AS (UNCTAD’s World Investment Report 2021).
Kecenderungan bagus ini belum terhentikan.
Asia semakin terintegrasi lewat aktivitas perekonomian dan ini tidak lagi semata-mata soal perdagangan dan investasi (Asian Economic Integration Report 2021: Making Digital Platforms Work for Asia and the Pacific-Highlights (adb.org)).
Akan tetapi, di era berikutnya Asia sudah harus semakin serius membahas isu non-ekonomi.
Menlu China Wang Yi menyebutkan, ada evolusi lanskap internasional di Asia (China Daily, 22 November 2021).
”Kawasan Asia Pasifik sedang menghadapi dua kecenderungan,” katanya.
Satu kecenderungan adalah satu pihak fokus pada kerja sama yang saling menguntungkan untuk pembangunan dan perdamaian serta stabilitas.
Ucapan ini implisit merujuk pada China.
Wang melanjutkan, kecenderungan lain, ada pihak lain yang sedang menancapkan perpecahan, memantik konflik, konfrontasi dan mengembangkan blok militer dan politik.
Ucapan ini diduga kuat merujuk pada Amerika Serikat.
Ada rivalitas AS versus China dengan lokasi yang paling terpengaruh sekarang ini adalah Asia.
Jika bukan wilayah yang paling panas, Asia kini termasuk menjadi wilayah yang tergolong panas di dunia.
Dua kecenderungan yang disebutkan Menlu Wang itu benar adanya dengan konsekuensi yang tidak bisa disepelekan.
Bagaimana memosisikan diri di tengah rivalitas dua negara kuat, AS dan China itu.
Asia sangat lama dalam posisi yang tidak harus memilih salah satu negara terkuat itu.
Ini karena sekian lama AS adalah negara terkuat.
Mau tidak mau dunia hanya tunduk pada kepentingan AS, termasuk China itu sendiri.
Kini, China menantang AS dan lanskap kawasan memang otomatis berubah.
China semakin tidak ingin AS ada di wilayahnya.
Sebaliknya, AS berniat untuk mempertahankan dominasi di Asia.
Keamanan Internal Asia
Akan tetapi, masalah bagi Asia sudah lebih jauh dari sekadar rivalitas AS dan China itu.
Asia sudah tidak sekadar mencari kesimbangan relasi dengan China dan AS.
Masalah keamanan, khususnya kedaulatan wilayah, diduga kuat semakin memanas di Asia pada tahun-tahun mendatang dan ini semata-mata terkait dengan China.
Asia tidak bisa lagi mengandalkan atau pasrah pada supremasi AS yang membuat Asia relatif aman pertikaian internal selama puluhan tahun.
Tentu AS belum meninggalkan segera Asia.
”China jelas sedang bangkit. Akan tetapi, jangan hapus dulu dominasi Amerika,” demikian Michael E O’Hanlon menuliskan di situs Brookings, edisi 28 Oktober 2021.
O’Hanlon adalah Direktur Riset di di Foreign Policy.
Akan tetapi, wibawa AS tidak lagi sekuat masa lalu.
Menggusur AS adalah misi China.
Pernah AS menyerang pesawat tempur China pada 2001 dan menewaskan pilot China.
Saat itu, China relatif diam saja.
Bahkan, Presiden AS George Bush pada 2 April 2001 menyalahkan pihak China yang dianggap tidak transparan, padahal penyusup ke wilayah China adalah militer AS (CNN.com - Bush statement on China, U.S. spy plane incident - April 2, 2001).
Kini hal itu seperti mustahil didiamkan jika terulang.
China tidak melupakan gugurnya pilot Wang Wei.
”Tidak akan pernah ada lagi kasus kedua Wang Wei,” demikian Komandan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China, Laksamana Wu Shengli (The Global Times, 19 September 2014).
China sangat mungkin bersikap lebih agresif pada AS.
Lagi, AS di dalam negeri cukup banyak masalah sehingga sulit fokus pada Asia.
Daya ekonomi AS memang terus memudar.
Ironis juga bagi AS untuk menghamburkan uang demi perang dengan China di tengah 40 juta warga miskin AS, yang kini menjadi pemandangan sehari-hari di pusat-pusat kota besar di AS.
Tidak Ada Kompromi
Maka, kini, bagi China, ada sebuah kesempatan.
AS tidak hanya tentang memori gugurnya pilot Wang Wei.
Bagi China, urusan dengan AS bukan lagi soal kedaulatan wilayah negaranya (termasuk Taiwan).
China sudah beranjak lebih jauh.
China harus mengamankan teritori penyangga keamanan wilayah di tempat AS dipersepsikan sedang memantik konflik.
China juga meyakini persepsi AS, bahwa Uncle Sam hanya menginginkan China yang terus miskin.
”Ini adalah misi utama AS,” demikian tajuk rencana The Global Times, 6 September 2021.
”Dan ini tidak akan terjadi,” lanjut tajuk tersebut.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi China untuk bernegosiasi dengan AS soal apa pun jika itu menyangkut teritori China dan teritori penyangga.
”Tidak ada alasan untuk berbicara dengan AS berdasarkan apa pun, kita hanya bicara pada AS dengan kekuatan dan aksi-aksi,” demikian isi tajuk lain pada The Global Times, edisi 9 November 2021.
Menelaah ”Tirai Bambu”
Bagi China, garisannya amat jelas.
Tidak ada unsur AS yang harus dipertimbangan untuk urusan teritori China dan teritori peyangga?
Asia kini ada di tangan Asia, dengan China sebagai penentu secara de facto.
Lalu bagaimana Asia non-China membahas strategi keamanan dalam arti bebas dari dominasi China dan bebas dari isu-isu kedaulatannya terkait Laut China Selatan, sebagai contoh?
Polemik China dengan Asia soal kedaulatan wilayah, tidak lagi semata-mata soal kecemburuan China akibat AS masih hadir di wilayah Asia.
Versi China, ada tradisi nelayan China yang ratusan tahun telah menangkap ikan di wilayah Laut China Selatan.
Ini isu yang puluhan bahkan ratusan tahun tidak muncul secara mencolok.
Ini ditambah lagi dengan hakikat dari negara kuat, dalam hal ini China, yang secara naluriah menginginkan dominasi di wilayahnya.
Seperti Amerika Serikat menguasai Amerika Latin, dan Eropa harus memahami itu.
Kurang lebih demikian tampaknya keinginan China di wilayahnya.
Lalu bagaimana isu ini berkembang di tahun-tahun berikutnya?
Kolaborasi Asia non-China untuk menghadapi China tampaknya sulit terwujud.
China sudah jelas-jelas menghardik Uni Eropa untuk tidak mencampuri urusan Taiwan misalnya.
Hal serupa juga telah dinyatakan China terhadap AS.
Walaupun Asia solid, jika China diasumsikan agresif, kekuatan persenjataan Asia non-China tidak sebanding dengan kekuatan militer China.
Ada peningkatan kemampuan persenjataan, tetapi bisa dipastikan Asia non-China tidak cukup mumpuni untuk menandingi China.
Dengan demikian, dominasi China di Asia, secara alamiah mirip dominasi AS di dunia setelah Perang Dingin.
Tampaknya dengan demikian, harapan Asia satu-satunya tergantung pada niat China.
Akankah dia semakin agresif seperti dituduhkan Menlu AS Antony Blinken?
Lagi, niat sebuah negara terkuat tidak pernah bisa ditebak.
Jawaban-jawaban China pada kekhawatiran Asia sudah diketahui secara verbal.
Presiden Xi Jinping meyakinkan Asia, termasuk ASEAN, agar tidak perlu khawatir.
China dan ASEAN sudah terbukti berelasi selama 30 tahun dan relatif aman dan tertib saja, seperti dikatakan Deng Xijun, Dubes China untuk ASEAN.
Menurut sang Dubes, kondisi serupa itu akan diteruskan bahkan ditingkatkan. (China Daily, 22 November 2021).
Terkait Laut China Selatan, China menekankan upaya bersama ASEAN-China terkait Laut China Selatan.
Ini termasuk dengan melanjutkan konsultasi kolaboratif tentang ”Code of Conduct in the South China Sea”.
Memang sedang dibahas, bagaimana kode-kode untuk berperilaku di Laut China Selatan.
Akan tetapi, masalahnya China bukan lagi negara yang dulu, yang relatif biasa saja kekuatannya.
China sudah menjadi kekuatan nomor dua di dunia, jika bukan nomor satu.
Alamiah dari sebuah negara kuat, dan ini bukan hanya soal China, adalah tergoda menjadi hegemonik.
Presiden Xi Jinping sudah menekankan tidak mengejar hegemoni.
Masalahnya adalah ada godaan pada negara terkuat untuk menjadi otoriter.
Sebagaimana diperlihatkan sejarah, ada 12 perang di dunia yang terjadi sebagai efek negatif dari keberadaan dari negara-negara terkuat.
Ini diungkapkan lagi oleh Graham Allison dari Harvard University.
Tidak bisa dipastikan kepastian dari sebuah ucapan, ikrar atau niat temporer.
Seperti diucapkan Presiden Xi Jinping sendiri saat mengingatkan AS dan Taiwan soal reunifikasi Taiwan.
”China menginginkan unifikasi damai…,” kata Presiden Xi.
Namun, Presiden Xi menambahkan, ”Seharusnya tak seorang pun mengabaikan determinasi sikap, keinginan teguh, dan kemampuan kuat dari rakyat China untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas teritorial.” (The New York Times, 9 Oktober 2021).
Kalimat Presiden Xi menggambarkan salah satu karakter negara kuat, yakni bisa tergoda, bisa kehilangan kesabaran.
Ini tidak ada urusan dengan ideologi sebuah negara.
”Inilah salah satu karakter negara terkuat,” demikian pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer di berbagai forum internasional.
Namun, ada 4 perang pertikaian atau kemelut yang tidak berwujud perang, hanya 12 dari 16 kemelut yang berwujud perang.
Empat perang yang tidak terwujud adalah era rivalitas Portugal versus Spanyol (akhir abad 15), AS versus Inggris (awal abad ke-19), AS versus Uni Soviet (1940-1980-an), serta Inggris dan Perancis versus Jerman (1990-an sampai sekarang).
Di samping potensi konflik, ada preseden tentang konflik yang tidak berujung perang.
Bisa saja preseden bagus itu berlanjut di era kekuasaan China sekarang ini.
Juga mungkin Asia non-China tidak berniat atau tidak memiliki ketakutan atas China.
Asia non-China mungkin tidak seperti AS dan Eropa yang sepanjang masa terus khawatir akan China.
Mungkin untuk apa juga Asia non-China khawatir, sebab dirinya pun masih perlu berkembang secara ekonomi.
Toh China telah menggusur perekonomian Asia dengan investasi dan perdagangan, melebihi dari apa pun yang pernah dilakukan oleh negara lain sepanjang sejarah.
”China oleh mayoritas Asia lebih dipandang sebagai ancaman dari sisi ekonomi, tetapi tidak demikian dari sisi militer,” demikian sebuah artikel pernah dituliskan di situs Cambridge University Press (Inggris), 01 November 2012. (Simon Saragih, Wartawan Senior Kompas)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Mungkin Asia secara Umum Tidak Takut pada China”. Klik untuk baca: Mungkin Asia secara Umum Tidak Takut pada China - Kompas.id.