WahanaNews.co | Aksi jual yang meluas di China melalui pasar negara berkembang, mengancam untuk mematikan pertumbuhan dari saham hingga mata uang dan obligasi.
Adanya wabah Covid baru dan kebijakan ketat pemerintah telah menahan investor global.
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
Hal itu mendorong mereka untuk menjual tidak hanya mata uang, obligasi, dan saham China, tetapi juga aset negara berkembang manapun yang sangat bergantung pada perdagangan dengan ekonomi terbesar kedua.
Hasilnya, penurunan paling tajam di pasar negara berkembang dalam dua tahun, tidak berbeda dengan kehancuran pada 2015 ketika kesengsaraan China menyebabkan kekalahan dalam obligasi dan mata uang mereka, selain menghapus dua triliun dolar AS dari nilai ekuitas.
Sejak itu, pengaruh negara tersebut terhadap ekonomi global hanya tumbuh.
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
Sekarang negara itu menjadi pembeli komoditas terbesar, yang berarti kemerosotannya dapat berdampak pada eksportir bahan mentah dan pasar mereka lebih dari sebelumnya.
“Mengingat pentingnya China dalam rantai pasokan global dan pentingnya prospek pertumbuhan global, kekecewaan lebih lanjut dalam pertumbuhan negara dapat menyebabkan lebih banyak risiko penularan,” ujar Johnny Chen dan Clifford Lau, manajer keuangan di William Blair Investment Management di Singapura, seperti dilansir dalam laman Bloomberg, Senin (2/5/2022).
"Kami melihat negara-negara dengan hubungan perdagangan yang tinggi dengan China sebagai yang paling rentan," ucapnya.