WahanaNews.co | Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, mengatakan, KBRI Kolombo terus menjalin komunikasi dengan para WNI di saat Sri Lanka bangkrut dan menghadapi situasi tak tentu.
KBRI Kolombo juga memantau terus kondisi WNI di tengah situasi krisis.
Baca Juga:
Wickremesinghe Jadi Presiden Sri Lanka, Demonstran: Kami Tak Akan Mundur!
Judha mengatakan, WNI relatif tidak terdampak parah dan masih dapat mengakses kebutuhan logistik.
"Meskipun demikian, KBRI Kolombo siap memberikan bantuan kepada WNI yang paling terdampak jika membutuhkan," katanya kepada wartawan, Kamis (23/6/2022).
Saat jumpa pers Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta pada bulan lalu, Judha melaporkan, berdasarkan data KBRI Kolombo pada April, total jumlah WNI di Sri Lanka ada 273.
Baca Juga:
Ekonomi Indonesia Disebut Masih Aman dari Krisis, Tapi…
Dari jumlah tersebut, 190 punya izin tinggal tetap.
Kebangkrutan Sri Lanka ini diumumkan langsung oleh PM Ranil Wickremesinghe pada Rabu (22/6/2022).
Ranil, yang juga menjabat sebagai Menteri Ekonomi, mengakui, tata keuangan negaranya runtuh setelah berbulan-bulan kekurangan makanan, bahan bakar, dan listrik.
Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun.
Sri Lanka tidak bisa membayarnya.
Kolombo juga tidak punya uang untuk mengimpor barang-barang pokok, seperti bensin, susu, gas, dan kertas toilet.
Kepada parlemen, Ranil mengatakan bahwa negara di Asia Selatan itu menghadapi situasi yang jauh lebih serius dari sekadar kekurangan bahan bakar, gas, listrik, dan makanan.
"Ekonomi kita benar-benar runtuh," katanya.
Keterlibatan keluarga penguasa dalam penanganan krisis ekonomi dan hutang yang melilit di Sri Lanka ditengarai telah menyebabkan kekurangan makanan dan bahan bakar dan pemadaman listrik yang berkepanjangan.
Gejala itu muncul dari masalah yang lebih besar seperti dinasti politik yang mengakar di Sri Lanka.
Protes telah berkecamuk sejak April.
Para demonstran menyalahkan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan pemerintahnya atas kesalahan kebijakan yang melumpuhkan ekonomi dan menjerumuskan negara ke dalam kekacauan.
Pada bulan Mei, gelombang protes memaksa Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa untuk mundur.
Krisis ekonomi yang menghantam Sri Lanka adalah yang terparah.
Pada 2009, setelah perang saudara di Sri Lanka berakhir atau bencana tsunami yang menghancurkan pada 2004, ekonomi Sri Lanka tak pernah terpuruk begitu dalam.
Saat ini, Ranil mengandalkan paket bailout dari Dana Moneter Internasional atau IMF.
Dia juga mengharapkan bantuan dari India dan China untuk menjaga perekonomian tetap bertahan.
Ranil mengatakan, anggaran baru bakal dipakai untuk keperluan keuangan publik pada jalur yang lebih berkelanjutan dan meningkatkan dana untuk orang miskin, yang paling terpukul.
"Anggaran sementara akan mengatur jalan ke depan," katanya.
Sri Lanka mengumumkan akan menangguhkan pembayaran utang luar negeri sebesar US$ 7 miliar yang jatuh tempo untuk pembayaran tahun ini, sambil menunggu hasil negosiasi dengan IMF.
Sri Lanka harus membayar rata-rata US$ 5 miliar per tahun hingga 2026. [gun]