WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan di medan perang Rusia-Ukraina kembali melonjak setelah serangkaian serangan udara dan sabotase yang dilaporkan dilakukan oleh Ukraina.
Sinyal pembalasan keras pun disuarakan langsung oleh elite Moskow, menandai kemungkinan eskalasi baru yang bisa mengguncang stabilitas kawasan Eurasia.
Baca Juga:
Lebih 50 Tahun Orbit Pesawat Antariksa Soviet Jatuh di RI, Disebut Objek Berbahaya
Meski jalur diplomatik belum sepenuhnya tertutup, retorika militer dari Kremlin menunjukkan bahwa titik temu antara senjata dan negosiasi kian sulit dicapai.
Rusia “tak terelakkan” akan memberikan respons terhadap rangkaian serangan terbaru Ukraina di wilayahnya, demikian pernyataan mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.
Ia merespons tekanan publik dalam negeri agar Moskow mengambil tindakan lebih keras setelah dugaan sabotase terhadap jalur kereta api dan serangan pesawat nirawak di sejumlah lapangan udara Rusia akhir pekan lalu.
Baca Juga:
Jenderal Rusia Tewas dalam Ledakan Bom Mobil Dekat Moskow
“Semua yang perlu diledakkan akan diledakkan, dan mereka yang perlu disingkirkan akan diledakkan,” tegas Medvedev dalam unggahan di media sosial. “Tentara kita sedang dalam serangan aktif dan akan terus maju.”
Medvedev, kini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, menyatakan bahwa negosiasi yang berlangsung di Istanbul diperlukan semata-mata agar kemenangan Rusia bisa dipercepat, serta untuk mengakhiri kekuasaan yang ia sebut sebagai “rezim neo-Nazi” di Kiev.
Meski ancaman militer terus digaungkan, delegasi Rusia tetap melakukan perjalanan ke Istanbul untuk perundingan langsung lanjutan dengan pihak Ukraina.
Dalam forum tersebut, Moskow mengajukan dua jalur menuju gencatan senjata dan menawarkan penghentian sementara pertempuran guna mengevakuasi jenazah dari medan perang.
Namun Presiden Ukraina Vladimir Zelensky menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
Ia bahkan menyebut tim negosiator Rusia sebagai “idiot”, dengan alasan bahwa gencatan senjata hanya masuk akal jika bertujuan menyelamatkan nyawa, bukan sekadar manuver taktis.
Pernyataan itu menuai respons dari juru bicara Kremlin Dmitry Peskov yang menyebutnya “canggung” dan “merugikan,” serta dinilai menghambat prospek perundingan lebih lanjut.
Moskow juga menawarkan pemulangan lebih dari 6.000 jenazah tentara Ukraina, yang ditanggapi oleh Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov dengan usulan imbal balik: Kiev akan mengembalikan jumlah jenazah tentara Rusia dalam angka yang setara.
Vladimir Medinsky, kepala tim negosiator Rusia, menyatakan Moskow setuju untuk menerima jenazah-jenazah tersebut.
Kesediaan Ukraina untuk bernegosiasi disebut-sebut terjadi atas tekanan dari Presiden AS Donald Trump. Gedung Putih memperingatkan bahwa Washington bisa menarik diri dari proses mediasi jika tak ada kemajuan signifikan.
Di tengah perundingan, eskalasi terus berlangsung. Kiev pada Minggu lalu melancarkan serangan drone ke lima lapangan udara Rusia yang diduga menjadi basis pesawat pengebom strategis Tu-95 dan Tu-22M, serta pesawat pengintai A-50.
Serangan ini disebut Rusia sebagai “aksi teroris” yang berhasil ditangkis, meskipun beberapa pesawat mengalami kebakaran.
Keith Kellogg, utusan khusus Presiden Trump, menyatakan kepada Fox News bahwa aksi Ukraina ini merupakan eskalasi serius karena menyasar bagian sensitif dari sistem pertahanan Rusia.
“Ketika Anda menyerang triad nuklir mereka, itu artinya Anda menaikkan level risiko ke titik yang tak bisa diterima,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyoroti laporan belum terverifikasi mengenai dugaan serangan Ukraina terhadap markas Armada Utara Rusia di Severomorsk.
Jika benar, dua dari tiga komponen utama kekuatan nuklir Moskow telah diserang.
“Yang paling berbahaya bukan kerusakan fisiknya, tapi dampak psikologis yang ditimbulkannya. Ukraina sedang menguji seberapa jauh mereka bisa mendorong Moskow,” ungkap Kellogg.
Laporan New York Times menambah kekhawatiran dengan menyebut bahwa Ukraina tidak memberi pemberitahuan kepada Washington sebelum serangan itu dilakukan.
Sumber-sumber internal menilai bahwa Moskow kemungkinan akan segera melancarkan “balasan yang signifikan,” meskipun bentuk dan waktunya masih menjadi misteri.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]