WAHANANEWS.CO, Jakarta - Meski menduduki posisi puncak dalam hierarki Gereja Katolik dan menjadi kepala negara Vatikan, Paus Fransiskus menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan.
Gaya hidupnya yang sederhana bukan sekadar simbolisme keagamaan, tetapi merupakan keputusan pribadi yang ia pegang teguh selama lebih dari satu dekade memimpin umat Katolik sedunia.
Baca Juga:
Tiga Kardinal Dijagokan Jadi Paus Baru: Dari Italia, Filipina, hingga Ghana
Tak hanya menolak segala bentuk privilese berlebihan, ia juga konsisten menolak menerima gaji yang sejatinya menjadi haknya.
Padahal, jabatan Paus secara tradisional disertai dengan penghasilan bulanan yang sangat besar. Menurut laporan The Economic Times, paus berhak mendapatkan gaji sekitar USD 32.000 per bulan atau setara Rp531 juta.
Namun, sejak awal menjabat pada 2013, Paus Fransiskus menolak untuk mengambil uang tersebut.
Baca Juga:
Gaya Hidup Sederhana Paus Fransiskus hingga Akhir Hayatnya
Ia lebih memilih mengalihkan seluruh hak finansialnya ke dalam bentuk donasi untuk kepentingan gereja, kegiatan amal, dan terkadang untuk membantu keluarganya di Argentina.
Paus Fransiskus terlahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1969. Karier gerejawinya kemudian menanjak hingga akhirnya ia terpilih menjadi Paus oleh konklaf kepausan pada 13 Maret 2013, menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri.
Nama Fransiskus yang ia pilih berasal dari Santo Fransiskus dari Assisi, seorang tokoh yang terkenal akan kesederhanaan dan pengabdiannya kepada kaum miskin, sebuah warisan nilai yang ingin ia teruskan dalam masa kepemimpinannya.
Sejak awal, Paus Fransiskus telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mereformasi struktur dan praktik keuangan di Vatikan. Ia mengecam keras budaya upah tinggi dan privilese finansial di dalam tubuh gereja.
Salah satu langkah nyatanya adalah merombak sistem gaji untuk pejabat tinggi gereja, termasuk para kardinal, dan secara khusus, menegaskan bahwa dirinya tidak akan menerima gaji apa pun.
Alih-alih menikmati gaji resmi, ia mengelola kekayaannya dalam bentuk amanah dan kontribusi sosial. Dana yang seharusnya ia terima disalurkan untuk membiayai program-program sosial gereja atau kegiatan filantropi yang dekat dengan misinya.
Walaupun demikian, berdasarkan estimasi media internasional, kekayaan bersih Paus Fransiskus tetap mencapai sekitar USD 16 juta atau Rp265 miliar.
Nilai tersebut mencakup berbagai aset yang melekat pada jabatannya sebagai Paus, bukan akumulasi kekayaan pribadi hasil konsumsi mewah.
Komentar hangat datang dari Dr. Thomas Reese, pakar Vatikan dan peneliti senior di Religion and Public Life Program di Georgetown University, Amerika Serikat.
“Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin spiritual. Ia adalah hati nurani dunia yang hidup di tengah sistem kekuasaan yang sering kali membutakan. Dengan menolak gaji, ia mengirim pesan bahwa pelayanan sejati tidak bisa dibayar dengan uang, tetapi ditegakkan oleh moral dan integritas,” kata Dr. Reese dalam wawancara dengan NCR Online.
Sementara itu, Sister Helen Prejean, aktivis keadilan sosial asal AS, menyebut warisan Paus Fransiskus sebagai contoh nyata dari kepemimpinan yang membumi.
“Ia menunjukkan bahwa kerendahan hati bukan kelemahan, tetapi kekuatan. Dunia ini jarang sekali melihat pemimpin global yang berjalan dengan sepatu usang namun bicara dengan keberanian dan kasih,” ujarnya dalam sebuah cuitan setelah kabar wafatnya Paus dikonfirmasi.
Sayangnya, masa kepemimpinan Paus Fransiskus kini telah berakhir. Vatikan mengumumkan bahwa beliau wafat pada usia 88 tahun, sehari setelah tampil menyapa publik di hari Minggu Paskah.
Penampilan itu, yang menjadi yang pertama dan terakhirnya di depan umum pada tahun ini, disambut haru oleh umat yang memenuhi Lapangan Santo Petrus.
Paus dilaporkan meninggal karena komplikasi pneumonia ganda yang sempat ia derita.
Kematian Paus Fransiskus menandai berakhirnya sebuah era yang penuh dengan dinamika, perubahan struktural, serta tantangan internal dalam Gereja Katolik.
Kepemimpinannya dikenal karena keberanian menghadapi kemapanan lembaga serta keberpihakannya kepada kaum kecil dan terpinggirkan.
Lebih dari sekadar pemimpin spiritual, ia meninggalkan jejak kuat sebagai simbol moralitas dan keteladanan di dunia modern.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]