WAHANANEWS.CO, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti lambatnya masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza akibat prosedur izin keamanan yang diberlakukan Israel.
PBB menilai proses ini telah menghambat pengiriman logistik penting dan menyia-nyiakan “waktu berharga” yang sangat krusial di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk.
Baca Juga:
Kamboja Grebek Pusat Penipuan Daring Asia Tenggara, Ratusan Orang Diciduk
Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric, mengungkapkan bahwa koordinasi misi kemanusiaan kerap memakan waktu berjam-jam karena otoritas Israel memberlakukan izin yang sifatnya tidak dapat diprediksi.
"Upaya untuk mengoordinasikan gerakan kemanusiaan seringkali berlarut-larut selama berjam-jam karena izin yang tidak dapat diprediksi oleh otoritas Israel, sehingga membuang-buang waktu yang berharga," ujarnya seperti yang dilaporkan Al Jazeera.
Dujarric mencontohkan, pada Senin lalu pihaknya mengajukan 16 misi kemanusiaan yang harus dikoordinasikan dengan dinas keamanan Israel.
Baca Juga:
PBB Sahkan Anggaran Rp87,5 Triliun untuk Misi Perdamaian 2025–2026
Misi tersebut meliputi pengambilan pasokan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar dari dua jalur penyeberangan yang masih beroperasi, yakni Kareem Shalom dan Zikim.
Dari total 16 misi tersebut, empat di antaranya difasilitasi, tiga ditolak, dan empat sempat tertahan sebelum akhirnya mendapat izin.
Sementara itu, dua misi dibatalkan langsung oleh organisasi kemanusiaan mereka.
Sisanya, termasuk yang membawa pasokan pangan dan obat-obatan, masih tertunda atau terhambat prosesnya.
Sementara itu, Badan PBB untuk urusan pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa meski jalur distribusi darat tersendat, sejumlah negara tetap mengirim bantuan lewat jalur udara dengan cara menjatuhkan paket logistik ke wilayah Gaza.
Namun, metode ini dinilai berisiko, mahal, dan kurang efektif.
"Di Gaza, pengiriman bantuan melalui udara dari beberapa negara anggota terus berlanjut, meskipun ada peringatan dari beberapa badan internasional bahwa pengiriman bantuan melalui udara sangat mahal dan tidak efektif," kata pernyataan UNRWA.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]