WahanaNews.co, Jakarta - Selama bertahun-tahun, badan intelijen Barat telah menyerukan fokus pada ancaman China. Ancaman tersebut, sebagaimana diungkapkan Kepala GCHQ Inggris, merupakan "tantangan terbesar masa kini".
Ini diikuti penangkapan sejumlah orang di negara-negara Barat atas tuduhan spionase dan peretasan oleh negara Tirai Bambu tersebut.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Bahkan, duta besar China di London baru-baru ini dipanggil terkait dugaan membantu intelijen Hong Kong.
Negara-negara Barat dan sekutunya bertekad melawan ancaman ini. Namun, pejabat senior khawatir negara-negara Barat belum menghadapi tantangan China dengan serius.
Mereka tertinggal dalam hal intelijen, membuatnya rentan terhadap mata-mata Beijing dan risiko kesalahan perhitungan yang dapat memicu bencana.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Keprihatinan utama adalah tekad Presiden Xi Jinping agar Beijing membentuk tatanan dunia baru. Kepala MI6 menyatakan China bercita-cita menggantikan AS sebagai kekuatan utama.
Meski telah berkali-kali memperingatkan, badan intelijen Barat masih kesulitan memusatkan perhatian pada aktivitas China.
Prioritas dan fokus Barat sebelumnya tersita oleh perang melawan teror, Afghanistan, Irak, dan kebangkitan Rusia.
Pada saat yang sama, ada tekanan untuk mengamankan akses ke pasar China ketimbang menghadapi risiko keamanannya. Pemimpin politik dan pelaku bisnis cenderung tidak mau menantang China secara terbuka.
"Pendulum memang berayun sangat jauh ke arah kepentingan ekonomi dan komersial," kata Nigel Inkster.
Intelijen China sudah terlibat spionase industri sejak 2000-an, namun perusahaan Barat cenderung membiarkannya karena khawatir membahayakan posisi mereka di pasar China.
Tantangan lain adalah pola kerja mata-mata China yang berbeda dari Barat, membuatnya sulit dikenali dan dihadapi.
Seorang mantan mata-mata Barat pernah menyebut China melakukan "jenis mata-mata yang salah".
Maksudnya, Barat fokus mengumpulkan intelijen untuk memahami musuh, sementara China lebih memprioritaskan melindungi stabilitas rezim dengan memperoleh teknologi Barat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mata-mata China bahkan membagi informasi dengan perusahaan negara, sesuatu yang tidak dilakukan badan intelijen Barat.
"Badan kami lebih sibuk dari 74 tahun sejarah," ungkap kepala Asio Australia. Ia mengakui negara-negara Barat lambat memahami ancaman ini. "Secara kolektif, kita telah melewatkannya."
Pada Oktober 2023, dalam penampilan publik pertama, kepala keamanan "Lima Mata" (AS, Inggris, Australia, Kanada, Selandia Baru) muncul bersama memperingatkan perolehan rahasia dagang oleh China.
Pertemuan belum pernah terjadi ini sengaja meningkatkan volume peringatan karena kekhawatiran banyak pihak masih mengabaikan ancaman tersebut.
Lokasi pertemuan di Silicon Valley dipilih untuk menyoroti upaya China mencuri teknologi, baik melalui spionase dunia maya maupun perekrutan orang dalam.
Sumber daya intelijen China sangat besar - diperkirakan 600.000 orang bekerja di bidang ini, jumlah terbesar di dunia.
Badan keamanan Barat tidak dapat menyelidiki setiap kasus. MI5 menyebutkan lebih dari 20.000 orang di Inggris saja telah didekati mata-mata China melalui situs jejaring profesional seperti LinkedIn untuk membina hubungan yang berpotensi membocorkan informasi merusak perusahaan.
"Orang mungkin tidak sadar sebenarnya berkorespondensi dengan petugas intelijen negara lain," kata kepala MI5 Ken McCallum. Ia menyebut ini kampanye "epik" yang dapat membawa implikasi keamanan nasional dan konsekuensi ekonomi serius.
Meski sebagian besar fokus pada pengawasan dalam negeri, China juga menggunakan mata-matanya untuk membatasi kritik atas tindakannya di luar negeri.
Baru-baru ini ada laporan mata-mata China menyasar politik Barat dengan penangkapan di Inggris, Belgia, Jerman, serta penyelidikan di Kanada. Juga ada laporan "kantor polisi luar negeri" China di Eropa dan Amerika.
Dalam berurusan pembangkang Tiongkok di Barat, Beijing cenderung bertindak dari jarak jauh seperti menyewa penyelidik swasta atau panggilan mengancam, bukan mata-mata fisik. Bahkan insiden dunia maya awal 2000-an yang menyasar sistem Inggris berasal dari China untuk mengumpulkan informasi kelompok Tibet dan Uighur.
Australia berada di garis terdepan kekhawatiran campur tangan politik China. Asio mulai mendeteksi aktivitas tersebut sekitar 2016, termasuk mempromosikan kandidat dalam pemilu.
"Mereka mencoba memaksakan agenda mereka, tapi kami tidak ingin dilakukan dengan cara terselubung," ungkap kepala Asio.
Australia mengeluarkan serangkaian undang-undang baru pada 2018 untuk mengatasi hal ini. Januari 2022, MI5 Inggris memperingatkan pengacara berbasis di Inggris Christine Lee diduga menyumbang ke partai politik sebagai bagian kampanye mendukung agenda Beijing. Lee kini mengajukan kasus hukum atas klaim tersebut.
Baru pada 2023, Inggris mengesahkan UU Keamanan Nasional baru yang memberi kewenangan menangani campur tangan dan aktivitas negara asing lainnya. Kritikus menilai kebijakan itu terlambat.
Tentu saja negara-negara Barat juga memata-matai China, seperti China memata-matai mereka. Namun, mengumpulkan intelijen tentang Tiongkok merupakan tantangan unik bagi badan intelijen Barat seperti MI6 dan CIA.
Pemerintahan tertutup China, kendali atas media dan internet, serta tekanan untuk tidak mengkritik Beijing membuat sulit bagi mata-mata Barat untuk memperoleh informasi.
Mereka harus mengandalkan metode tradisional seperti memata-matai diplomat dan pengungsi, serta mengeksploitasi celah keamanan.
Pengawasan domestik yang ekstensif melalui pengenalan wajah dan pelacakan digital telah membuat metode tradisional pengumpulan intelijen melalui pertemuan langsung menjadi hampir mustahil.
Sekitar satu dekade lalu, China berhasil membongkar jaringan besar agen CIA. Secara teknis, China juga menjadi target yang sulit bagi GCHQ dan NSA, yang memata-matai komunikasi dan mengumpulkan data intelijen digital, karena China menggunakan teknologinya sendiri, bukan teknologi Barat.
"Kami benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan oleh politbiro [China]," kata seorang pejabat Barat.
Kesenjangan pengetahuan ini bisa menyebabkan kesalahpahaman dan membawa risiko serius.
Selama Perang Dingin, negara-negara Barat terkadang gagal memahami betapa tidak amannya posisi Moskow, yang hampir menyebabkan perang besar yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.
Risiko kesalahan perhitungan serupa terjadi saat ini, terutama terkait ambisi China untuk merebut kembali kendali atas Taiwan.
Ada juga ketegangan yang meningkat di Laut Cina Selatan, di mana eskalasi yang tidak disengaja dapat memicu konflik.
"Dalam dunia yang kompetitif dan berbahaya ini, kita harus selalu waspada terhadap konflik dan berusaha menghindarinya," kata Sir Richard Moore, kepala MI6.
"Ketika Anda memiliki kekuatan yang mungkin tidak selalu memahami satu sama lain dengan baik, di situlah peran kami penting," lanjutnya.
Menurutnya, peran MI6 adalah menyediakan intelijen yang dibutuhkan untuk mengelola potensi risiko.
"Kesalahpahaman selalu berbahaya. Lebih baik jika ada saluran komunikasi terbuka dan pemahaman mengenai niat dari pihak-pihak yang bersaing," katanya.
Oleh karena itu, memastikan adanya saluran komunikasi terbuka menjadi prioritas.
MI6 memiliki kontak dengan rekan-rekan Tiongkok terkait ancaman teroris. Fakta bahwa beberapa kontak militer ke militer antara AS dan Tiongkok kini telah dimulai kembali juga disambut baik.
Meskipun kontak militer dan diplomatik yang meningkat antara Beijing dan Washington berhasil meredakan ketegangan dalam beberapa bulan terakhir, dampak jangka panjangnya tetap memerlukan perhatian.
Pengungkapan kegiatan mata-mata dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan ketakutan di kalangan masyarakat kedua negara, yang pada akhirnya dapat membatasi ruang untuk bermanuver saat menghadapi krisis.
Menemukan cara untuk hidup berdampingan dan saling memahami akan sangat penting untuk mencegah hubungan berubah menjadi konflik mematikan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]