WahanaNews.co, Jakarta - Rusia diduga tengah merencanakan pembentukan kelompok negara-negara sahabat untuk menyaingi Barat dan NATO.
Hal ini diungkapkan oleh Institute for the Study of War (ISW) terkait retorika Vladimir Putin tentang koalisi keamanan Eurasia.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Penilaian ini muncul setelah kunjungan Putin ke Korea Utara, yang semakin memperdalam hubungan saling menguntungkan antara Moskow dan Pyongyang.
Putin menyatakan bahwa Moskow siap membahas masalah keamanan Eurasia dengan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang dipimpin oleh Rusia dan China, Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) yang dipimpin oleh Moskow, serta negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab).
Kepada lulusan militer di istana Kremlin di Moskow, Putin mengungkapkan rencana "untuk menciptakan keamanan yang setara dan tak terpisahkan di Eurasia."
Baca Juga:
Krisis Kelahiran di Korut: Pemerintah Penjarakan Dokter Aborsi dan Sita Alat Kontrasepsi
Pernyataan ini sejalan dengan komentar Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov yang mengatakan pada pertemuan para menteri luar negeri di Almaty, Kazakhstan, bahwa Moskow berupaya membentuk "arsitektur keamanan Eurasia" untuk menggantikan sistem keamanan Euro-Atlantik.
ISW menyebut Lavrov mungkin merujuk pada upaya Moskow untuk meningkatkan kerja sama dengan ASEAN setelah kunjungan kenegaraan Putin ke Vietnam, yang juga ia masukkan dalam konsep Eurasia, selain Korea Utara.
Lembaga pemikir AS tersebut mengatakan bahwa Putin dan para pejabatnya mungkin akan mendorong upaya Rusia untuk membentuk koalisi "sebagai alternatif terhadap NATO," sementara juga mencoba untuk "secara keliru menggambarkan negara-negara Barat sebagai satu-satunya pendukung Ukraina."
Ini adalah bagian dari rencana Kremlin untuk membentuk kelompok yang dapat bertindak "sebagai alternatif terhadap Barat dan melemahkan NATO," tambah ISW.
Sejak invasi besar-besaran ke Ukraina, Putin telah meningkatkan seruannya untuk beralih dari apa yang dikritiknya sebagai sistem politik ekonomi dan global yang didominasi negara-negara Barat.
Dalam kunjungan pertamanya ke Korea Utara dalam 24 tahun, kedua negara menyetujui pakta pertahanan bersama ketika Moskow semakin bergantung pada negara yang terisolasi tersebut untuk mendapatkan amunisi guna membantu pasukan Rusia di Ukraina.
"Kemitraan baru ini telah memperdalam hubungan yang semakin erat demi kenyamanan," ujar Gabrielle Reid, direktur asosiasi di perusahaan intelijen strategis S-RM, kepada Newsweek, dilansir Minggu (23/6/2024).
Namun, meski aliansi antara Rusia dan Korea Utara semakin kuat, Reid menyebutkan bahwa kerja sama ini "akan terbatas dan didorong oleh kebutuhan, bukan oleh keinginan untuk secara bersamaan meningkatkan agenda kebijakan luar negeri yang agresif."
"China juga menjaga jarak dari perjanjian ini untuk menghindari kerusakan pada kerja sama dengan mitra dagang Barat atau memberikan perhatian yang tidak semestinya pada perjanjian ini sebagai perjanjian tripartit," tambah Reid.
[Redaktur: Elsya TA]