WahanaNews.co | Pemerintah Iran resmi membubarkan unit polisi moral usai dua bulan lebih diprotes imbas penangkapan Mahsa Amini yang dianggap berpakaian tak sesuai aturan.
Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri mengatakan polisi moral dibubarkan karena tidak berhubungan dengan peradilan.
Baca Juga:
Balas Israel, Iran Disebut Bakal Tingkatkan Kekuatan Hulu Ledak
"Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan," ungkapnya seperti dikutip dari AFP, Minggu (4/12).
Polisi moral menjadi perbincangan usai menahan Mahsa Amini beberapa waktu lalu. Beberapa hari kemudian, perempuan itu meninggal di tahanan.
Kematian Amini memicu protes besar di Iran. Mereka menuntut keadilan, transparansi, dan menyuarakan isu-isu kebebasan berekspresi.
Baca Juga:
Elon Musk Beberkan Alasan Tangguhkan Akun X Pemimpin Tertinggi Iran
Kisah Amini membuat publik menaruh perhatian ke polisi moral Iran. Mereka bertanya-tanya soal akuntabilitas dan impunitas yang dinikmati elite ulama negara itu.
"Akan sulit menemukan rata-rata perempuan Iran atau keluarga biasa yang tak punya kisah interaksi dengan [polisi moral dan pusat pendidikan ulang]. Begitulah kehadiran mereka," kata peneliti senior Human Right Watch, Tara Sepehri Far, seperti dikutip CNN.
Polisi moralitas adalah komponen dari Pasukan Penegakan Hukum Iran (LEF) yang menegakkan aturan soal ketidaksopanan dan kejahatan sosial. Mereka memiliki akses ke kekuasaan, senjata, dan pusat penahanan.
Polisi moral ini juga memiliki kendali atas "pusat pendidikan ulang" yang baru-baru ini diperkenalkan.
Pusat pendidikan itu bertindak seperti fasilitas penahanan. Warga bisa saja ditahan karena gagal mematuhi aturan soal kesopanan.
Di dalam fasilitas penahanan, para tahanan diberikan kelas tentang Islam dan pentingnya jilbab. Pihak berwenang kemudian akan memaksa mereka menandatangani janji untuk mematuhi peraturan pakaian sebelum bebas.
Direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia di Iran, Hadi Ghaemi, mengatakan pusat pendidikan ulang itu didirikan pada 2019. Namun, pendirian ini dianggap tak punya dasar hukum apa pun.
"Agen dari pusat-pusat ini secara sewenang-wenang menahan perempuan, tak terhitung jumlahnya, dengan dalih tak mematuhi jilbab paksa negara," kata Ghaemi.
Lebih lanjut, Ghaemi menerangkan perempuan itu diperlakukan seperti penjahat karena pelanggaran mereka.
"(Mereka) difoto dan dipaksa untuk mengikuti kelas tentang cara memakai jilbab yang benar dan moralitas Islam," imbuh dia.
Iran telah mendikte cara berpakaian perempuan jauh sebelum Republik Islam ini berdiri.
Pada 1936, pemimpin Iran saat itu yang pro-Barat, Reza Shah, melarang pemakaian cadar dan jilbab sebagai upaya memodernisasi negara. Banyak perempuan melawan.
Ia kemudian digulingkan. Pahlevi Syah lalu mengambil alih. Penguasa baru itu menerapkan wajib jilbab pada 1979. Namun, aturan itu baru disahkan sebagai undang-undang pada 1983.
Pemerintah kemudian membentuk gugus tugas untuk menegakkan peraturan yakni polisi moralitas. Tugas mereka untuk memastikan bahwa aturan dipatuhi.
Polisi Moralitas Iran di bawah komando Mohammad Rostami Chemtech Gachi semakin menunjukkan kekerasan dan kekuatan berlebihan.
Pada awal 2022, Rostami menyatakan pihaknya akan menghukum perempuan Iran yang menolak mengenakan jilbab, demikian dikutip Home Treasury.
Polisi moral berpatroli di jalan-jalan dengan mandat memasuki area publik untuk memeriksa penerapan hukum jilbab dan persyaratan Islam lain. [rna]