WahanaNews.co | Pemerintah China menerapkan ketentuan lockdown di Shanghai selama dua minggu.
Pemberlakuan yang mendadak ini menyebabkan 25 juta penduduk Shanghai terpaksa tinggal di rumah.
Baca Juga:
Isu Bupati Dairi Terpapar Covid, Direktur RSUD Sidikalang: Dua Kali Swab Hasil Negatif
Kurangnya akses ke makanan dan obat-obatan memicu kemarahan publik. Bahkan seorang warga harus menggelontorkan uang hampir Rp 1 juta demi membeli makanan.
Sejak awal pandemi, Shanghai merupakan episenter Covid-19 terbesar di China, tercatat setidaknya ada 25.000 kasus infeksi per hari.
Salah satu warga Shanghai, Frank Tsai, terjebak di apartemennya yang berada di Puxi, bagian barat Shanghai.
Baca Juga:
Akan Gelar Open House, Bupati Dairi Diisukan Terpapar Covid, Ini Kata Direktur RSUD Sidikalang
Dia telah menimbun persediaan makanan untuk 4 hari, sebagaimana anjuran pemerintah setempat.
Namun tujuh hari kemudian, kebijakan lockdown yang semakin ketat membuatnya harus menghemat porsi makanan.
"Saya kini memikirkan makanan dan jumlah asupan makanan lebih dari yang pernah saya pikirkan sepanjang hidup," katanya.
Beberapa penduduk Shanghai terpaksa melakukan barter makanan dengan satu sama lain. Bahkan tak sedikit yang harus rela merogoh kocek yang tak masuk akal demi makanan.
Seorang warga bermarga Ma mengatakan bahwa dirinya harus membayar 400 yuan atau setara Rp900 ribu untuk sekotak mi instan dan soda.
"Saya hanya mencoba untuk menyediakan pasokan makanan. Saya tidak yakin berapa lama (lockdown) ini akan berlanjut," tutur dia.
Kebijakan lockdown tersebut berkaitan dengan strategi Zero Covid yang diterapkan pemerintah China.
Namun belum lama ini, Shanghai dikabarkan akan mulai melonggarkan kebijakan lockdown.
Direktur Kesehatan Komisi Shanghai, Wu Jinglei dalam konferensi pers pada Minggu, 17 April 2022, mengatakan bahwa angka infeksi Covid-19 di kota itu mulai menurun dalam dua hari terakhir. [qnt]