WAHANANEWS.CO, Jakarta - Meski baru saja mengalami hantaman telak dalam perang udara 12 hari melawan Iran, Israel belum juga jera.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, kembali melontarkan ancaman bombastis yang menyasar langsung Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Baca Juga:
Israel Tutupi Kerusakan Parah Akibat Rudal Iran dengan Sensor Ketat Media
“Kami ingin melenyapkan Khamenei, tetapi tidak ada peluang operasional,” kata Katz dalam wawancara dengan Channel 13 pada Jumat (27/6/2025).
“Jika dia menjadi sasaran kami, kami akan menghabisinya,” imbuhnya tanpa ragu.
Ketika ditanya apakah Israel memerlukan izin Amerika Serikat untuk menjalankan misi tersebut, Katz menjawab singkat, “Kami tidak memerlukan izin untuk hal-hal ini.”
Baca Juga:
Perang Lawan Iran Bikin Keuangan Israel Boncos, Anggaran Negara Terkapar
Pernyataan tersebut menandai kali kedua Katz mengumbar niat ingin menyingkirkan tokoh tertinggi Iran sejak konflik bersenjata pecah pada 13 Juni lalu.
Padahal, perang itu baru saja diakhiri lewat kesepakatan gencatan senjata total, yang diteken setelah intervensi langsung dari Presiden AS Donald Trump.
Namun, suasana usai gencatan senjata tak berarti tenang. Justru sebaliknya, pidato kemenangan Ayatollah Khamenei pada Kamis (26/6/2025) menjadi bahan bakar baru dalam ketegangan geopolitik kawasan.
Dalam pidato berapi-api, Khamenei menyebut Israel sebagai “rezim palsu” yang “hampir hancur” dan mengklaim bahwa Republik Islam Iran keluar sebagai pemenang.
“Saya mengucapkan selamat kepada bangsa Iran yang agung atas kekalahan rezim Zionis palsu,” ujar Khamenei.
“Terlepas dari semua kegaduhan dan klaimnya, rezim Zionis hampir hancur di bawah serangan Republik Islam.”
Tak hanya menyentil Israel, Khamenei juga mengecam Amerika Serikat yang turut terlibat membombardir tiga situs nuklir Iran selama akhir pekan lalu.
“AS memasuki perang secara langsung karena merasa bahwa jika tidak, rezim Zionis akan hancur total. Namun, AS tidak memperoleh apa pun dari perang ini,” kata Khamenei dengan nada sinis.
Ia juga memuji soliditas rakyat Iran selama konflik. “Sembilan puluh juta orang berdiri bersama, bahu-membahu, tanpa ada perpecahan dalam tuntutan atau dukungan mereka,” katanya.
Namun di balik ancaman verbal dan adu propaganda, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Israel sedang menghadapi pukulan serius, bukan hanya secara militer, tapi juga ekonomi.
Boncos Setelah 12 Hari Perang
Ketegangan selama 12 hari antara Iran dan Israel memicu kerugian besar di sektor ekonomi dan fiskal Tel Aviv.
Laporan dari Financial Express dan Anadolu Agency menyebut, dalam sepekan pertama perang saja, Israel menggelontorkan lebih dari US$5 miliar atau sekitar Rp81 triliun, dengan pengeluaran harian mencapai US$725 juta.
Sekitar US$593 juta digunakan untuk ofensif militer, sementara US$132 juta dikerahkan untuk pertahanan dan mobilisasi cadangan.
Bahkan jika konflik diperpanjang sebulan penuh, total biaya diprediksi menembus angka US$12 miliar, atau setara Rp194 triliun, menurut Aaron Institute for Economic Policy.
Kerugian tak langsung, termasuk penurunan produksi, disrupsi layanan publik, dan kekacauan sosial, membuat total kerugian Israel bisa membengkak hingga US$20 miliar atau Rp324 triliun, seperti diungkapkan ekonom Palestina, Naser Abdelkarim.
Lebih dari 36 ribu warga Israel telah mengajukan kompensasi akibat kerusakan properti dan evakuasi.
Sementara itu, pemerintah tengah mempertimbangkan langkah-langkah ekstrem: pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan, kenaikan pajak, hingga penambahan utang negara yang bisa melambungkan rasio utang Israel menjadi di atas 75% terhadap pendapatan nasional.
Kilang minyak Bazan, terbesar di Israel, terpaksa ditutup setelah dihantam rudal Iran, menimbulkan kerugian US$3 juta per hari.
Bandara Internasional Ben Gurion juga sempat lumpuh, mengganggu arus 35.000 penumpang harian dan ratusan penerbangan. Maskapai nasional El Al bahkan menghentikan semua operasional dan mengalihkan rute secara darurat.
Tak kalah parah, sektor perdagangan berlian di Tel Aviv ikut babak belur.
Serangan rudal ke kawasan Bursa Efek memicu aksi jual besar-besaran, menekan pasar saham dan menjatuhkan nilai tukar shekel hingga 3,7 per dolar AS.
Antara Nyali dan Realitas
Di tengah kondisi tersebut, ancaman Israel untuk "menghabisi" Khamenei tampak lebih seperti retorika pelipur lara daripada strategi yang benar-benar bisa dijalankan.
Militer Israel mungkin unggul teknologi, namun tekanan ekonomi dan isolasi diplomatik bisa membatasi ruang geraknya secara signifikan.
Para pengamat internasional menyebut, jika Israel benar-benar melancarkan serangan terhadap Ayatollah Khamenei, maka skenario eskalasi ke perang regional yang lebih luas, melibatkan Hizbullah, Suriah, bahkan Rusia, bukan hal mustahil.
Pertanyaannya kini bukan sekadar apakah Israel punya nyali, tetapi apakah mereka sanggup menanggung akibatnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]