WahanaNews.co, Jakarta - Dalam pencarian petualangan ekstrem, mendaki Gunung Everest tetap menjadi salah satu tantangan paling prestisius di dunia.
Namun, para pendaki yang bercita-cita mencapai puncak tertinggi di dunia sekarang memiliki tanggung jawab tambahan: membawa kembali kotoran atau feses mereka sendiri.
Baca Juga:
Duta Besar RI Untuk Bangladesh Tinjau Latihan MPE 24 Shanty Prayas IV
Peraturan baru yang mewajibkan para pendaki membawa kembali tinja mereka untuk dibuang di base camp telah diberlakukan.
Aturan ini diterapkan sebagai respons terhadap meningkatnya jumlah kotoran manusia yang terakumulasi di sepanjang jalur pendakian, menyebabkan masalah bau yang tidak menyenangkan dan menimbulkan dampak negatif pada ekosistem fragile di sekitar Gunung Everest.
Karenanya, para pendaki harus membawa kantong khusus kotoran manusia dengan membelinya di base camp untuk nantinya akan diperiksa lagi saat turun.
Baca Juga:
Ini 5 Negara Tidak Pernah Dijajah, Ada Tetangga Indonesia
Sebagaimana diberitakan Independent pada Jumat (9/2/2024), peraturan baru ini muncul di tengah meningkatnya keluhan mengenai volume sampah manusia yang berjejer di jalur pendakian gunung yang sulit terdegradasi secara alami karena suhu dingin ekstrem.
Pemerintah Kota Pasang Lhamu Nepal mengeluarkan pengumuman bahwa pendaki diharapkan untuk membeli kantong kotoran di base camp, yang nantinya akan diperiksa ketika mereka kembali.
Ketentuan ini berlaku untuk mereka yang mendaki Gunung Everest dan Gunung Lhotse, dua puncak yang terhubung melalui Jalur Selatan.
Isu terkait kotoran manusia telah menjadi fokus perhatian pihak berwenang Nepal selama beberapa tahun terakhir karena peningkatan jumlah izin yang diberikan setiap tahun.
Hal ini, menurut para ahli, mengakibatkan peningkatan kepadatan populasi di kawasan pegunungan.
Pihak berwenang menegaskan bahwa aturan baru ini akan diterapkan menjelang musim pendakian tahun ini di Nepal, yang biasanya dimulai pada bulan Maret dan berlangsung hingga Mei.
"Kami mendapat keluhan bahwa tinja manusia terlihat di bebatuan dan beberapa pendaki jatuh sakit. Ini tidak dapat diterima dan mengikis citra kami," ujar Mingma Sherpa, ketua kota pedesaan Pasang Lhamu kepada BBC News.
"Gunung kami mulai bau busuk," imbuh dia.
Menurut Komite Pengendalian Pencemaran Sagarmatha, diperkirakan ada sekitar tiga ton kotoran manusia yang tersebar di antara kamp satu, yang terletak di kaki Everest, dan kamp empat, yang lebih dekat ke puncak.
"Setengahnya diyakini berada di South Col, yang juga dikenal sebagai kamp empat. Sampah masih menjadi masalah besar, terutama di kamp-kamp yang terletak di dataran tinggi yang tidak dapat dijangkau," terang Chhiring Sherpa, kepala eksekutif organisasi tersebut.
Sementara itu, Komite Pengendalian Polusi Sagarmatha telah melaporkan pembelian sekitar 8.000 kantong kotoran dari Amerika, yang nantinya akan didistribusikan kepada para pendaki, sherpa, dan staf pendukung.
Setiap individu akan menerima dua tas, yang didesain untuk berbagai keperluan. Kantong-kantong ini dilengkapi dengan bahan kimia yang dapat mengeras dan mengurangi bau kotoran manusia secara signifikan.
Prosedur selanjutnya menentukan bahwa kantong kotoran manusia tersebut harus dibawa turun hingga base camp dan dibuang di tempat yang telah ditentukan. Pihak berwenang Nepal mengancam akan mengambil tindakan terhadap pendaki yang meninggalkan kotoran di puncak gunung jika tidak dipatuhi.
Mayat Bergeletakan
Selain sampah dan feses yang berserakan, perjalanan menuju puncak Everest juga menyajikan pemandangan mayat-mayat pendaki dibiarkan bergeletakan.
Ya, kehadiran mayat menjadi pemandangan umum di puncak gunung yang berada di Nepal tersebut.
Lalu, kenapa banyak mayat dibiarkan bergeletakan di rute pendakian Gunung Everest? Ternyata masalahnya adalah Repatriasi atau pemulangan jenazah di Gunung Everest membutuhkan biaya sangat mahal.
Dalam beberapa situasi, biaya untuk repatriasi dapat mencapai angka US$70 ribu atau setara dengan Rp1 miliar. Sebenarnya, biaya untuk melakukan pendakian Gunung Everest sendiri tidak terbilang murah.
Hanya untuk memperoleh izin pendakian, para pendaki diharuskan membayar sekitar US$15 ribu atau Rp229 juta, tanpa termasuk biaya tiket pesawat, asuransi, dan biaya perlengkapan lainnya.
Terlebih lagi, beberapa paket pendakian Everest memiliki biaya yang tidak jauh berbeda atau bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan perkiraan biaya repatriasi.
Ketika mendaftar untuk mendaki Gunung Everest, calon pendaki dihadapkan pada formulir yang membahas kemungkinan repatriasi dalam kejadian meninggal di puncak gunung atau pilihan lainnya.
Proses evakuasi untuk menurunkan jenazah dari puncak Everest juga sangat berisiko, dan bukanlah hal yang tidak mungkin bagi mereka yang terlibat dalam proses tersebut untuk mengalami cedera atau bahkan mengalami kecelakaan fatal.
Pada 1984, dua pendaki Nepal meninggal dunia di Gunung Everest ketika mencoba mengambil jenazah pendaki perempuan asal Jerman.
Sementara itu, pemegang rekor perempuan pemuncak Everest terbanyak, Lhakpa Sherpa, mengungkapkan bahwa dia melihat tujuh jenazah dalam perjalanan ke puncak Gunung Everest pada 2018.
"Satu yang di dekat puncak seolah tampak hidup karena angin meniup rambutnya," kata Lhakpa Sherpa, seperti dilansir Business Insider.
Ada juga mayat di Gunung Everest yang tidak diketahui identitasnya dan dijuluki "Green Boots", karena mengenakan sepatu trekking berwana hijau.
Dikutip BBC Future, jenazah "Green Boots" belakangan menjadi landmark atau titik penanda di pendakian pendakian Everest jalur utara, sebelum dipindahkan tim ekspedisi asal China ke lokasi yang tidak terlalu mencolok pada 2014 silam.
Salah satu pendaki berpengalaman Everest, Alan Arnette menerangkan, proses penurunan jenazah pendaki sangat rumit, tergantung lokasi meninggalnya sang pendaki.
Seperti dilansir CBC News, jika pendaki meninggal di basecamp, maka dia mesti diturunkan ke area yang dapat dijangkau helikopter pendakian Fishtail Air.
Proses repatriasi menjadi semakin kompleks ketika jenazah berada di lokasi yang lebih tinggi, seperti South Col atau ketinggian di atas 8.000 meter.
Faktor-faktor seperti cuaca ekstrem dengan suhu di bawah 0 derajat Celsius dan kekurangan oksigen pada ketinggian tersebut membuat misi penyelamatan menjadi sulit. Jenazah pendaki seringkali terjebak di gunung karena pembekuan.
Dengan ketinggian mencapai 29.029 kaki di atas permukaan laut, puncak Everest dikenal sebagai "zona kematian" karena kekurangan oksigen yang membuat pernapasan menjadi sulit bagi para pendaki.
Pada tahun 2023, penyakit ketinggian menjadi salah satu penyebab kematian di Gunung Everest. Tahun itu juga dikenal sebagai salah satu musim pendakian Everest paling mematikan, dengan 12 kematian dan lima orang dinyatakan hilang.
Nima Nuru Sherpa, Presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, menyatakan bahwa tidak semua pendaki memiliki asuransi yang mencakup biaya pencarian, penyelamatan, dan evakuasi jenazah.
Sherpa menekankan perlunya membahas kewajiban asuransi dalam operasi pencarian dan penyelamatan untuk mendukung upaya pengambilan jenazah dari Gunung Everest.
"Jika jenazah tidak diambil pada waktu atau musim tertentu, kami telah mendesak pemerintah untuk mengeluarkan izin bebas royalti untuk mengambil jenazah kapan saja selama musim tersebut atau tahun depan," lanjutnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]