WahanaNews.co, Jakarta - Banyaknya korban serangan Israel di Jalur Gaza terus meningkat. Pernyataan Kementerian Kesehatan Palestina pada Sabtu, (17/2/2024), menyatakan bahwa jumlah korban telah mencapai 28.858 orang, sedangkan lebih dari 68.600 lainnya mengalami luka.
Ashraf al-Qudra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, mengungkapkan bahwa korban akibat agresi Israel terus bertambah sejak 7 Oktober.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
Ia juga menyoroti penahanan sejumlah besar tenaga kesehatan oleh tentara Israel di Kompleks Kesehatan Nasser, yang kini diubah menjadi pangkalan militer.
Pada perkembangan terbaru, pada 17 Februari 2024, tentara Israel melakukan penangkapan di Rumah Sakit Nasser, fasilitas medis terbesar yang masih beroperasi di Gaza.
Israel dilaporkan menahan beberapa tenaga kesehatan selama serangan tersebut. Sebelumnya, pada 15 Februari 2024, Rumah Sakit Nasser di Khan Younis telah menjadi sasaran bombardir Israel, menyebabkan setidaknya lima pasien meninggal karena mati listrik dan terputusnya pasokan oksigen.
Baca Juga:
Pelanggaran Hukum Internasional, PBB: 70 Persen Korban di Gaza Adalah Perempuan dan Anak-anak
Militer Israel beralasan sedang memburu anggota Hamas di Rumah Sakit Nasser. Sampai berita ini diturunkan, Israel telah menangkap 100 tersangka di lokasi tersebut.
Beberapa orang di dekat rumah sakit tersebut dibunuh militer Israel. Tentara Israel mengklaim menemukan senjata di dalam rumah sakit itu.
Konflik Israel-Hamas memanas sejak 7 Oktober 2023 lalu, ketika kelompok Hamas melancarkan serangan roket besar-besaran ke Israel dari Gaza hingga menewaskan 1.200 orang.
Hamas juga disebut menyandera sekitar 240 warga Israel.
Atas serangan tersebut, Israel lantas melakukan serangan balasan dengan memerintahkan pengepungan total terhadap Gaza. Israel kemudian mulai meluncurkan serangan darat dengan tujuan melenyapkan Hamas serta menyelamatkan para sandera.
Pada 24 November 2023, Qatar menjadi mediator Israel dan Hamas demi mencapai kesepakatan gencatan senjata sementara.
Kesepakatan tersebut juga menyangkut pertukaran tawanan perang dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Gencatan senjata juga beberapa kali diperpanjang dan berakhir pada 1 Desember 2023.
Pada pekan sebelumnya, Hamas mengajukan tawaran terbaru kepada Israel untuk gencatan senjata dan pembebasan sandera yang ditahan di Jalur Gaza.
Namun, pada Rabu, 7 Februari 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak tawaran terbaru dari Hamas. Netanyahu bersikeras menolak gencatan senjata dengan Hamas, meyakini bahwa kemenangan sudah dekat.
“Kami berada di jalur menuju kemenangan total. Kemenangan sudah dekat. Hanya kemenangan total yang akan memungkinkan kita memulihkan keamanan di Israel, baik di utara maupun di selatan,” katanya pada konferensi pers yang disiarkan televisi.
Sejak 4.5 bulan yang lalu, Hamas telah mengusulkan gencatan senjata, di mana mereka menjanjikan pembebasan semua sandera.
Rencananya adalah setelah itu, Israel akan menarik pasukannya dari Gaza, dan kesepakatan akan dicapai untuk mengakhiri konflik.
Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terus menolak tawaran gencatan senjata tersebut. Ia menyebut rencana tersebut sebagai "delusi" dan mencatat bahwa hal itu dapat menyebabkan penguasaan Hamas di Jalur Gaza pada akhir periode gencatan senjata secara bertahap.
“Ini hanya akan mengundang pembantaian lagi,” kata Netanyahu pada konferensi pers.
Menanggapi penolakan Netanyahu, Ismail Haniyeh, Ketua Hamas, menyalahkan Israel atas kurangnya kemajuan dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Pada hari Sabtu, 17 Februari 2024, Haniyeh menyatakan bahwa kelompok Hamas tidak akan menerima apapun selain penghentian total permusuhan, penarikan Israel dari Gaza, dan "pencabutan pengepungan yang tidak adil".
Haniyeh menegaskan bahwa pendudukan Israel terus melakukan manuver dan menunda-nunda dokumen yang krusial bagi rakyat Palestina, sementara mereka fokus pada pembebasan tahanan yang ditahan oleh kelompok perlawanan.
Dia juga menambahkan bahwa Israel harus membebaskan tahanan Palestina yang menjalani hukuman lama sebagai bagian dari perjanjian pertukaran yang akan datang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]