WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kebijakan imigrasi Amerika Serikat kembali bikin geger dunia.
Setelah sempat mereda, larangan perjalanan ala Trump kini bangkit kembali dengan cakupan lebih luas dan dampak yang lebih dalam.
Baca Juga:
Visa Haji Furoda Belum Terbit, Kemenag: Belum Ada Informasi Resmi
Dari pelarangan masuk bagi warga 12 negara, pembatasan parsial untuk 7 negara lain, hingga tekanan terhadap universitas ternama seperti Harvard dan Columbia, semuanya jadi bukti bahwa AS di bawah Trump kembali mengambil langkah ekstrem demi alasan "keamanan nasional".
Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi mengetatkan aturan imigrasi.
Mulai 9 Juni 2025, AS akan memberlakukan larangan perjalanan penuh (full travel ban) bagi warga dari 12 negara, serta pembatasan parsial untuk 7 negara lainnya.
Baca Juga:
36 Calon Haji Non Prosedural Gagal Berangkat karena Gunakan Visa Kerja
Langkah ini diteken langsung oleh Presiden Donald Trump lewat sebuah proklamasi baru yang disebutnya sebagai bagian dari "pengamanan nasional". Banyak yang menganggap kebijakan ini sebagai deja vu larangan perjalanan kontroversial pada awal masa jabatan Trump tahun 2017 silam.
Dilansir dari Travelo Biz, warga dari 12 negara berikut akan dilarang masuk ke AS dengan hampir semua jenis visa, termasuk visa pelajar, bisnis, turis, dan imigran:
• Afghanistan
• Myanmar (Burma)
• Chad
• Guinea Khatulistiwa
• Eritrea
• Haiti
• Iran
• Libya
• Republik Kongo
• Somalia
• Sudan
• Yaman
Larangan ini begitu ketat hingga visa yang masih berlaku pun bisa dibatalkan tergantung evaluasi.
Hanya diplomat dan kasus kemanusiaan mendesak yang diberi pengecualian terbatas.
Tak hanya itu, AS juga menerapkan pembatasan parsial terhadap 7 negara berikut:
• Burundi
• Kuba
• Laos
• Sierra Leone
• Togo
• Turkmenistan
• Venezuela
Bagi warga dari ketujuh negara ini, permohonan visa akan diproses jauh lebih ketat dan bisa mengalami penolakan meski visa sudah terbit.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kabar baiknya, Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang terkena larangan atau pembatasan parsial.
WNI masih dapat mengajukan visa ke AS sesuai prosedur yang berlaku. Namun tetap disarankan agar para pemohon memperhatikan aturan baru yang diberlakukan AS.
Misalnya, kini para pelancong yang menggunakan fasilitas Visa Waiver melalui sistem ESTA (Electronic System for Travel Authorization) wajib mengunggah foto wajah (selfie) untuk verifikasi otomatis.
Hal ini menambah lapisan keamanan digital dalam proses pengajuan visa.
Kampus Elit AS Juga Kena Dampaknya
Trump tak hanya membidik visa dan traveler asing. Proklamasi terbaru juga memuat pembatasan sementara terhadap universitas elite seperti Harvard University.
Pemerintah AS menyatakan akan menangguhkan penerimaan mahasiswa internasional baru ke Harvard selama enam bulan, dengan alasan keamanan nasional.
Sementara itu, Columbia University juga ikut disorot tajam.
Pemerintah bahkan mengancam akan mencabut akreditasi federal kampus tersebut karena dianggap gagal melindungi mahasiswa Yahudi.
Jika ancaman ini benar-benar terjadi, maka ribuan mahasiswa berpotensi kehilangan akses terhadap dana bantuan federal dan beasiswa, baik warga AS maupun internasional.
Mengapa Kebijakan Ini Muncul Sekarang?
Trump mengaitkan kebijakan ini dengan insiden serangan teror di Boulder, Colorado, yang melibatkan seorang warga Mesir yang masuk secara ilegal ke AS.
Meski Mesir tak masuk dalam daftar larangan, peristiwa ini jadi pemicu langkah keras Trump.
"Serangan teror baru-baru ini di Boulder menunjukkan bahaya dari warga asing yang tidak tersaring dengan baik," kata Trump dalam konferensi pers.
Apa yang Harus Dilakukan Traveler?
Bagi Anda yang punya rencana ke AS dalam waktu dekat, penting untuk:
• Mengecek kembali status visa
• Memahami aturan baru biometrik untuk ESTA
• Mengikuti informasi terbaru jika mendaftar ke kampus seperti Harvard atau Columbia
• Bersiap dengan proses visa yang lebih ketat dan memakan waktu lebih lama
Kebijakan ini menandai kembalinya pendekatan keras Trump dalam urusan imigrasi. Traveler internasional patut waspada karena segala bisa berubah dengan cepat.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]