WahanaNews.co | BPJS Kesehatan tak segan-segan memutus kerja sama bagi rumah sakit (RS) yang ketahuan melakukan praktik curang (fraud) seperti klaim palsu atau kerap disebut phantom billing.
Penegasan ini patut menjadi perhatian bagi seluruh RS yang menjalankan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Baca Juga:
BPJS Kesehatan Gelar Sarasehan Sosialisasi Program JKN Bersama Polri dan Bhayangkari
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, jika RS terbukti melakukan tindak kecurangan, pihak BPJS tidak akan memperpanjang kerja sama.
Sanksi akan lebih dulu dilakukan dengan pemberian Surat Peringatan (SP) kepada rumah sakit yang bersangkutan.
"Kalau kami di BPJS itu memang pas sistem anti fraud berbuat curang terdeteksi di rumah sakit tertentu gitu, ya kita tidak perpanjang ya (kerja sama)," tegasnya kepada media di Jakarta pada Kamis (6/4/2023).
Baca Juga:
Program JKN, Solusi Cerdas Persalinan Tanpa Kantong Jebol
"Atau kami kasih peringatan itu SP. Secara umum, kami biasanya begitu."
Kerja Sama dengan Dinkes dan Tim Kendali Mutu
Sanksi kepada rumah sakit yang terbukti melakukan tindakan klaim palsu pun tidak hanya ditindaklanjuti oleh BPJS Kesehatan saja, melainkan juga oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat dan Tim Kendali Mutu yang menangani fraud.
BPJS Kesehatan bekerjasama dengan kedua instansi terkait dalam hal penegakan aturan.
"Kami tidak sendiri ya. BPJS itu bersama dengan Dinas Kesehatan, bersama dengan Tim Kendali Mutu, Tim Kendali Biaya, lalu dengan dokternya, dengan spesialisnya," jelas Ghufron.
"Jadi kalau BPJS sudah dapat laporan (fraud) dan jika kami sudah menyatakan dari tim kendali mutu dan lainnya bahwa rumah sakit berbuat fraud, ya udah beneran gitu."
Ali Ghufron Mukti menyebut, salah satu temuan kecurangan yakni adanya rumah sakit yang klaim miliaran rupiah tapi pasiennya tidak ada. Artinya, klaim pasien yang dilaporkan sebenarnya tidak ada.
Namun, Ghufron tidak merinci lebih lanjut, rumah sakit mana yang melakukan klaim palsu tersebut.
"Ada sebuah rumah sakit. Itu sampai miliaran klaimnya tapi tidak ada pasiennya," ucapnya.
"Itu yang namanya phantom billing."
Cegah Kecurangan dalam Program JKN
Salah satu upaya untuk menjaga kualitas pelayanan dan kesinambungan Program JKN adalah memastikan pelaksanaan program dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Hal ini melalui upaya mencegah kerugian Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan akibat kecurangan (fraud).
Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti saat Seminar Internasional bertemakan, 'Fraud in Social Insurance: Prevention, Detection and Elimination' di Magelang, Kamis (8/12/2022).
“Di Indonesia, kami sudah mulai menangani fraud. Mulai dari membangun siklus pencegahan kecurangan meliputi tindakan preventif, tindakan deteksi terhadap potensi terjadinya kecurangan, dan tindakan penanganan," papar Ghufron.
"Ini dilakukan melalui penerbitan regulasi, membangun sistem pendeteksian melalui pemanfaatan teknologi berbasis revolusi industry 4.0, hingga penerapan sanksi."
BPJS Kesehatan sendiri telah menyusun kebijakan dan pedoman, pengembangan budaya pencegahan kecurangan, pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya serta pembentukan tim pencegahan kecurangan.
Ghufron meyakini, di beberapa negara penanganan terhadap fraud sudah berjalan dengan sangat baik. Namun, ia mengungkapkan dalam pengimplementasian pencegahan kecurangan dinilai tidak mudah
Upaya itu membutuhkan kesadaran dan keterlibatan semua pihak dan dukungan regulasi dari Pemerintah.
“Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah perilaku curang merupakan perbuatan yang dapat menular dan ditiru pihak lain," terangnya.
"Jika pelaku kecurangan tidak terdeteksi dan tidak ditindak, maka akan menjadi contoh bagi pihak lain untuk melakukan kecurangan."
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi RI Alexander Marwata mengungkapkan, KPK menaruh perhatian terhadap sektor kesehatan termasuk dalam pengelolaan Program JKN.
Menurutnya, sektor kesehatan adalah hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, melibatkan anggaran kesehatan yang makin besar, yaitu mencapai 5 persen dari APBN dan berpotensi penyimpangan di fasilitas kesehatan.
“Sejak munculnya JKN, mengubah tren korupsi di bidang kesehatan. Sebelum tahun 2014, pengadaan alat kesehatan, sarana prasarana dan obat paling banyak dikorupsi. Setelah ada Program JKN bergeser, jadi penyalahgunaan penjaminan layanan kesehatan, meskipun secara nilai masih kecil," tutur Marwata.
"Namun, karena ada potensi dilakukan secara masif dan sistemik ini patut diwaspadai." [Tio/Liputan6]