WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pernahkah kamu merasa otak terasa kosong setelah menghabiskan waktu berjam-jam menggulir media sosial tanpa tujuan? Ternyata, ada istilah untuk perasaan itu: brain rot.
Istilah ini menjadi Word of the Year versi Oxford University Press (OUP) setelah dipilih oleh lebih dari 37.000 orang dalam jajak pendapat publik.
Baca Juga:
Penelitian Bongkar Cara Kerja Otak Membantu Move On dari Cinta Lama
Dalam keterangannya, OUP mendefinisikan brain rot sebagai penurunan intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan terhadap konten online yang dianggap remeh dan tidak menantang.
Menurut OUP, penggunaan istilah ini meningkat 230% tahun ini dibandingkan dengan awal kemunculannya lebih dari seabad lalu.
Istilah brain rot pertama kali digunakan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden untuk mengkritik kecenderungan masyarakat dalam menyederhanakan ide-ide kompleks menjadi dangkal.
Baca Juga:
Fakta Mengejutkan, Mengupil Ternyata Bisa Picu Alzheimer!
Brain Rot di Era Digital
Di era media sosial, istilah brain rot semakin populer seiring dengan meningkatnya kekhawatiran akan dampak konsumsi konten berkualitas rendah.
Sebuah klinik kesehatan perilaku di Amerika Serikat bahkan mulai menawarkan terapi khusus untuk mengatasi kondisi ini.
Mereka menggambarkan brain rot sebagai keadaan yang ditandai dengan "kabut mental", kelelahan mental, berkurangnya rentang perhatian, serta penurunan kemampuan kognitif.
Tak Hanya untuk Otak
Menurut Dr. Nadia Putri, pakar neurologi dan kesehatan digital, brain rot tidak hanya berdampak pada penurunan fungsi kognitif, tetapi juga berpotensi menyebabkan masalah kesehatan lainnya.
"Ketika seseorang terlalu lama terpapar konten digital yang tidak menantang, otak kehilangan stimulus yang diperlukan untuk berkembang. Ini bisa berdampak pada daya ingat, kemampuan berpikir kritis, bahkan meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif seperti demensia di usia lanjut," jelasnya.
Selain itu, brain rot juga bisa memicu gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Psikolog klinis Dr. Aditya Satria menyebut bahwa konsumsi konten berlebihan, terutama yang bersifat pasif, dapat menciptakan efek ketergantungan.
"Otak kita terbiasa mendapatkan dopamine instan dari media sosial, yang membuat kita sulit fokus pada hal-hal yang lebih kompleks dan bermakna. Ini bisa menyebabkan stres, rasa tidak puas dengan kehidupan nyata, hingga kecanduan digital," tambahnya.
Menghindari Brain Rot
Para ahli menyarankan beberapa langkah untuk mengurangi risiko brain rot, seperti membatasi waktu penggunaan media sosial, melakukan aktivitas yang menstimulasi otak seperti membaca buku atau belajar keterampilan baru, serta menerapkan detoks digital secara rutin.
Presiden OUP, Casper Grathwohl, menekankan bahwa brain rot mencerminkan salah satu bahaya kehidupan virtual yang berdampak pada cara kita menggunakan waktu luang.
Menurutnya, istilah ini banyak diadopsi oleh generasi Z dan Alpha, yang sebagian besar bertanggung jawab atas konsumsi serta produksi konten digital yang kini mendominasi dunia maya.
"Saatnya kita lebih sadar dalam memilih konsumsi digital. Jangan sampai waktu kita habis untuk sesuatu yang tidak memberikan manfaat, sementara otak kita perlahan kehilangan kemampuannya," pungkas Dr. Nadia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]