WahanaNews.co | Singapura mengalami lonjakan kasus Covid-19 varian EG.5 atau Eris.
Bagaimana dengan Indonesia? Varian EG.5 ini sebenarnya sudah masuk di Indonesia sejak juni 2023 yang lalu.
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
Ketua Satgas Covid-19 PB IDI, Prof DR Dr Erlina Burhan, SpP(K) mengatakan, infeksi Covid-19 oleh varian EG.5 paling tinggi terjadi pada bulan Juli 2023 sebanyak 20%.
Namun memang tidak ada gejala-gejala berat yang ditimbulkan dari infeksi varian Covid-19 tersebut.
“Selama ini gejalanya cenderung ringan seperti batuk, demam, rhinorrhea, kehilangan penciuman dan pengecapan, seperti gejala umum Omicron,” ungkap Prof DR Dr Erlina Burhan, SpP(K).
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
Namun sebenarnya, infeksi Covid-19 itu berat atrtau ringan sangat dipengaruhi oleh tingkat kekebalan tubuh seseorang bukan dari jenis varian yang menginfeksinya.
Akan tetapi ada kemungkinan gejala menjadi berat pada kelompok rentan seperti lansia, orang komorbiditas dan orang dengan kondisi imunokompromais.
Dengan munculnya varian ini alangkah baikanya vaksinasi digencarkan lagi, terutama untuk masyarakat yang termasuk kelompok rentan tersebut.
Sebab capaian vaksinasi booster di Indonesia masih sangat rendah utamanya pada vaksin booster kedua.
Berdasarkan data dari PB IDI, capaian vaksinasi booster 1 di Indonesia baru sebanyak 38,17% atau sebanyak 69.306.719 orang.
Sedangkan untuk capaian vaksinasi booster ke-2 hanya mencapai 2% atau sebanyak 3.622.22 orang.
“Saya anjurkan untuk booster disegerakan dan diprioritaskan untuk para orang tua yang kelompok rentan,” ujar Prof Erlina.
Selain dengan vaksinasi, penerapan protokol kesehatan ketika beraktivitas serta meminimalisir kegiatan berkerumun di dalam ruangan juga masih sangat diperlukan untuk menghindari lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia.
[Redaktur: Zahara Sitio]