WahanaNews.co, Jakarta - Dermatolog atau Spesialis Kulit dan Kelamin lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Benny Nelson menyebutkan bahwa polusi udara juga berpengaruh terhadap kesehatan kulit.
"Jika ada polusi udara, maka pengaruhnya sangat besar terhadap kesehatan kulit, karena polusi mengandung radikal bebas dan agresor lain yang bisa menembus jauh ke dalam lapisan kulit, sehingga dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dan perubahan sel kulit dari dalam," kata Benny dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (22/08/23).
Baca Juga:
Biaya Pengobatan Penyakit Pernapasan Akibat Polusi Udara Mencapai Triliunan Rupiah untuk BPJS
Ia menjelaskan, agresor atau partikel berbahaya dari polusi dapat menembus pembatas kulit dan akan menumpuk di pori-pori, sehingga menyebabkan penyumbatan.
“Semakin kecil partikelnya akan semakin parah dampaknya karena agresor tersebut dapat masuk ke dalam lapisan paling luar kulit atau epidermis dan menimbulkan respons imun,” ujar dia.
Benny memaparkan, sebagian orang mungkin merasa kulitnya baik-baik saja meski terpapar polusi udara. Namun, lama-kelamaan bahan kimia dalam polusi udara tersebut akan mulai memperlihatkan efek buruk pada kulit.
Baca Juga:
Tekan Polusi Udara, PLN UID Jakarta Raya dan Sudin Lingkungan Hidup Jakpus Gelar Uji Emisi Kendaraan Operasional
“Seperti kulit menjadi kering dan gatal, dermatitis atau eksim, berjerawat, bahkan penyakit autoimun serta kanker kulit, karena banyaknya radikal bebas yang ada pada smog atau polusi udara”, kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan ini.
la melanjutkan, kulit memiliki bentuk pertahanan yang cukup kompleks. Pertahanan pertama disebut flora normal, yaitu bakteri, jamur, dan parasit alami di kulit. Meski mandi dengan berbagai macam perawatan, dalam waktu tiga menit flora normal ini akan kembali.
"Flora normal ini berfungsi menjadi benteng pertahanan terhadap bakteri dan jamur-jamur jahat. Nah, kalau gagal barulah mekanisme sel-sel kulit yang juga kompleks bekerja. Jika gagal dapat menimbulkan efek domino yang akhirnya menimbulkan keluhan atau penyakit," ucap dia.
Dirinya mengutarakan, tidak sedikit pasien yang menyampaikan bahwa kulitnya baik-baik saja meski terpapar polusi udara, karena di awal masih bisa ditangani oleh flora normal. Tetapi, apabila flora normal ini gagal memberikan perlindungan, pasien akan merasakan berbagai keluhan.
"Pertama-tama, keluhannya adalah kulit kering. Ini adalah efek domino pertama dari paparan polusi udara, yakni transepidermal water loss (TEWL) atau jumlah air yang menguap dari kulit akan meningkat. Jadi, kulit akan semakin kering," imbuhnya.
Untuk itu, Benny berpesan agar masyarakat tidak melupakan tiga perawatan dasar pada kulit yakni membersihkan, melembabkan, dan melindungi kulit dari paparan sinar ultra violet.
"Mandi dengan air suam-suam kuku sesuai dengan suhu tubuh, melembabkan dengan pelembab yang tidak mengandung pewangi, dan melindungi kulit dengan tabir surya minimal SPF 30 dan PA++," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan bahwa KLHK telah menerapkan modifikasi cuaca berupa hujan buatan hingga uji emisi untuk mengatasi polusi udara.
"Terhadap situasi (polusi) seperti ini, kita lakukan hujan buatan di lokal sehingga udaranya jadi dibersihkan. Kita sudah minta hari ini atau besok itu sudah dilakukan, harus ada hujan buatan, agar sedikit membersihkan," kata Menteri LHK di Jakarta, Senin (21/08/23).
[Redaktur: Sandy]