Syahril menjelaskan kondisi memprihatinkan seseorang karena sejumlah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah sering terjadi di berbagai negara.
Studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) menemukan hampir 50 persen pasien kanker mengalami kebangkrutan atau masalah finansial setelah menjalani pengobatan selama 12 bulan.
Baca Juga:
Kemenkes Gandeng Prefektur Mie untuk Fasilitasi Karier Perawat di Jepang
Selain itu, data Bank Dunia menunjukkan total pembiayaan kesehatan mandiri atau Out of Pocket Health Expenditure Indonesia mencapai 34,76 persen yang jauh di atas rekomendasi WHO sebesar 20 persen.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan dukungan asuransi pun maka beban biaya kesehatan yang tidak terencana tetap menjadi tantangan.
Sementara itu, Syahril menilai upaya mendorong optimalisasi pelayanan kesehatan preventif tidak mudah karena saat ini baru 33 persen penduduk Indonesia yang melakukan skrining penyakit tidak menular.
Baca Juga:
Indonesia Urutan Kedua Kasus Malaria di Asia Tenggara, Kemenkes Tegaskan Komitmen Bebas Malaria
Sedangkan sebanyak 70 persen pasien kanker di Indonesia baru memulai pengobatan ketika sudah memasuki stadium lanjut.
“Ini dapat menurunkan risiko keberhasilan pengobatan dan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat,” kata Syahril.
Selain itu melalui kegiatan skrining kesehatan di Puskesmas, Indonesia dapat menghemat beban biaya kesehatan karena pada 2022 beban pembiayaan penyakit tidak menular mencapai Rp24,1 triliun yang meningkat dibanding 2021 Rp17,9 triliun.