WAHANANEWS.CO, Jakarta - Jumlah penderita talasemia mayor di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan yang sangat mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kesehatan, selama delapan tahun terakhir kasus talasemia mayor mengalami lonjakan cukup tajam.
Baca Juga:
Tenaga Kesehatan Tertular MERS di Riyadh, Jemaah Diminta Tingkatkan Proteksi
Peningkatan paling mencolok terjadi pada tahun 2022, di mana jumlah pengidapnya melonjak menjadi 12.155 orang, naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan 10.973 kasus.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, Provinsi Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah pengidap talasemia mayor terbanyak di Indonesia.
Dari total keseluruhan kasus secara nasional, hampir setengahnya berasal dari provinsi ini, yakni sebanyak 4.717 kasus.
Baca Juga:
Kasus Kanker Naik, Menkes: Deteksi Dini Jadi Kunci Selamatkan Nyawa
Angka tersebut menempatkan Jawa Barat jauh di atas provinsi lainnya seperti Jawa Tengah (1.468 kasus), DKI Jakarta (864 kasus), dan Jawa Timur (771 kasus).
Adapun wilayah-wilayah di kawasan Kalimantan hingga Nusa Tenggara tercatat sebagai daerah dengan jumlah kasus terendah.
Talasemia sendiri merupakan salah satu jenis penyakit kelainan darah yang diturunkan secara genetik dari orang tua kepada anak.
Kondisi ini menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi hemoglobin secara normal, yaitu protein penting dalam sel darah merah yang bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
Ketika hemoglobin tidak terbentuk dengan baik, sel darah merah tidak berfungsi optimal, sehingga penderita mengalami anemia kronis dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
Talasemia mayor adalah bentuk paling parah dari penyakit ini.
Pasien dengan kondisi ini harus menjalani perawatan intensif sepanjang hidup mereka, berupa transfusi darah secara rutin dan pengobatan kelasi besi untuk mencegah penumpukan zat besi berlebih dalam tubuh.
"Artinya, memang perkiraan 2.500 bayi lahir setiap tahunnya sebagai penyandang talasemia mayor ini kemungkinan benar adanya," ujar Ketua Tim Kerja Penyakit Kelainan Darah dan Imunologi Kemenkes, Endang Lukitosari dalam webinar peringatan Hari Talasemia Sedunia dikutip dari detikHealth Kamis (22/05/2025).
Endang menambahkan bahwa tanpa adanya upaya pencegahan yang konkret, seperti skrining sebelum menikah, banyak individu yang berisiko tinggi menjadi pembawa sifat talasemia dan melahirkan anak dengan kondisi talasemia mayor.
Ia mengingatkan bahwa pengidap talasemia yang tidak mendapatkan penanganan atau pengobatan yang memadai sangat rentan terhadap komplikasi medis yang serius.
“Kalau kita tidak melakukan upaya pencegahan berupa skrining, ini tentunya ada komplikasi medis, dan juga ada komplikasi non medis karena terjadi perubahan fisik. Kemudian juga memerlukan upaya waktu pengobatan seumur hidup, dan ada stigma kemungkinan menjadi penghambat,” ujar Endang dalam pernyataannya.
Komplikasi medis yang dimaksud antara lain meliputi gangguan fungsi jantung, kerusakan organ hati, kelainan hormon yang dapat memengaruhi pertumbuhan, osteoporosis atau pengeroposan tulang, serta peningkatan risiko infeksi akibat rendahnya daya tahan tubuh.
Selain aspek medis, talasemia mayor juga membawa dampak besar dari sisi psikologis dan sosial. Perubahan fisik akibat penyakit ini dapat menimbulkan tekanan emosional, rasa rendah diri, serta memicu stigma di lingkungan sosial.
Di sisi lain, dari aspek pembiayaan kesehatan, penyakit ini juga menyedot anggaran yang sangat besar.
Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan, satu pasien talasemia mayor membutuhkan dana sekitar Rp5 miliar untuk pembiayaan pengobatan dari lahir hingga usia 18 tahun.
Biaya tersebut mencakup transfusi darah berkala, terapi kelasi besi, rawat jalan, serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pada tahun 2021, talasemia termasuk dalam lima besar penyakit katastropik dengan pembiayaan tertinggi di Indonesia.
Melihat tingginya beban yang ditimbulkan, baik bagi pasien, keluarga, maupun sistem kesehatan nasional, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan terus mengampanyekan pentingnya deteksi dini.
Salah satu langkah preventif yang dianggap sangat efektif adalah melakukan skrining talasemia sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Pemeriksaan ini hanya perlu dilakukan satu kali seumur hidup, namun manfaatnya sangat besar dalam mencegah kelahiran generasi dengan risiko tinggi terhadap talasemia mayor.
Berikut lima Provinsi dengan Kasus Talasemia Mayor tertinggi di Indonesia:
- Jawa Barat: 4.717 kasus
- Jawa Tengah: 1.468 kasus
- DKI Jakarta: 864 kasus
- Jawa Timur: 771 kasus
- Kalimantan hingga Nusa Tenggara: jumlah kasus terendah.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]