Anggota DJSN Mickael Bobby Hoelman mengatakan, uji coba ini dilaksanakan tanpa mengubah tarif iuran para peserta BPJS Kesehatan yang ada selama ini, dan dengan mempertimbangkan seluruh proyeksi pengeluaran maupun penerimaannya, serta tarif kapitasi yang baru.
"Setelah penerapan tarif 2023 memang masih menunjukkan angka yang positif, terutama hingga 2024," kata Bobby saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Baca Juga:
BPJS Kesehatan Gelar Sarasehan Sosialisasi Program JKN Bersama Polri dan Bhayangkari
Bobby mengatakan, kajian terhadap dampak implementasi KRIS terhadap dana jaminan sosial kesehatan ini turut menggunakan medical loss ratio atau rasio klaim serta mengacu pada posisi keuangan BPJS Kesehatan pada Desember 2022 yang surplus Rp 56,5 triliun.
Dari kajian itu dilakukan simulasi menggunakan acuan tarif kelas antara kelas 2 dan kelas 3 saat ini bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan faskes non-KRIS masih sesuai kelas peserta.
Hasilnya BPJS Kesehatan pada 2023 masih surplus Rp 42,49 triliun, 2024 surplus Rp 20,79 triliun, baru pada 2025 defisit Rp 12,3 triliun.
Baca Juga:
Program JKN, Solusi Cerdas Persalinan Tanpa Kantong Jebol
Simulasi kedua menggunakan acuan tarif kelas 2 bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan fasilitas kesehatan non-KRIS masih sesuai kelas peserta. Hasilnya serupa untuk tahun 2023 dengan surplus Rp 42,49 triliun.
Namun pada 2024 hanya menjadi Rp 17,41 triliun dan baru pada 2024 defisit Rp 23,27 triliun.
"Menunjukkan bahwa KRIS JKN dapat diterapkan secara bertahap dengan senantiasa mempertimbangkan kesiapan dan penerimaan terutama dari sisi para peserta," ujar Bobby. [Tio/cnbc]