WAHANANEWS.CO, Jakarta - Perubahan iklim kini menjadi ancaman nyata bagi kesehatan anak-anak di Indonesia.
Dampaknya tak hanya terbatas pada lingkungan dan infrastruktur, tetapi juga membawa konsekuensi serius terhadap proses tumbuh kembang anak.
Baca Juga:
Teknologi Modifikasi Cuaca Siap Jinakkan Hujan Ekstrem, Begini Caranya
Dokter Spesialis Anak, dr. Dayu Purnama, menyatakan bahwa perubahan iklim dapat menjadi salah satu pemicu meningkatnya angka stunting.
Menurutnya, kondisi-kondisi ekstrem yang terjadi akibat perubahan iklim turut memengaruhi status gizi anak.
“Perubahan iklim juga mempengaruhi tumbuh kembang anak dan bisa menjadi salah satu penyebab stunting,” ujar dr. Dayu dikutip dari RRI, Senin (21/4/2025).
Baca Juga:
Mencairnya Es Antarktika Picu 'Kebangkitan' Gunung Berapi Tersembunyi
Ia menekankan perlunya perhatian khusus terhadap dampak iklim dalam konteks kesehatan anak.
Suhu ekstrem seperti gelombang panas (heatwave), jelas Dayu, dapat memicu heatstroke pada anak.
Kondisi ini sering kali menyebabkan penurunan nafsu makan, yang pada akhirnya berdampak pada kecukupan asupan gizi penting selama masa pertumbuhan.
“Misalnya heatstroke bisa mengurangi nafsu makan pada anak,” ungkapnya.
Jika tidak ditangani dengan tepat, kondisi tersebut bisa berujung pada kekurangan nutrisi dalam jangka panjang.
Selain itu, bencana alam yang diperparah oleh perubahan iklim, seperti banjir, turut memperburuk kondisi kesehatan anak-anak.
Dalam situasi seperti ini, akses terhadap air bersih menjadi terbatas, meningkatkan risiko penyakit seperti diare yang dapat berkontribusi pada gangguan gizi.
“Jika terjadi bencana alam seperti banjir, air bersih sulit dan bisa memicu diare pada anak,” jelas Dayu. Ia menekankan pentingnya intervensi cepat untuk menjaga status gizi anak selama masa bencana.
Perubahan iklim juga berdampak pada ketahanan pangan nasional. Musim yang tidak menentu dapat mengakibatkan gagal panen, sehingga menurunkan ketersediaan bahan pangan bergizi bagi masyarakat, termasuk anak-anak.
“Musim yang tidak menentu yang mengakibatkan gagal panen bisa pengaruh pada produksi pangan,” katanya. Dampaknya bisa mengurangi akses masyarakat terhadap makanan sehat dan bergizi.
Dalam kondisi darurat seperti di pengungsian, dr. Dayu menekankan pentingnya memastikan ketersediaan makanan tinggi protein untuk anak-anak.
Menu sederhana seperti telur, menurutnya, dapat menjadi sumber gizi utama yang praktis dan mudah disiapkan.
“Jika memang terjadi saat di camp pengungsian, menu protein seperti yang paling mudah seperti telur, harus tersedia bagi anak,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim harus mencakup pemenuhan gizi anak secara menyeluruh.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]