WahanaNews.co, Jakarta – Diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang di Jerman, sejumlah mahasiswa Universitas Jambi menjadi korban. Mereka dieksploitasi sebagai buruh angkut logistik hingga kuli bangunan.
Salah satu mahasiswa perempuan, Raya (bukan nama sebenarnya) mengaku mengetahui program magang tersebut melalui Instagram. Kata Raya, salah satu guru besar di Universitas Jambi merupakan partner program ferienjob tersebut.
Baca Juga:
Resmob Polda Sulut Tangkap Tiga Terduga Pelaku Perdagangan Orang di Manado
Sosialisasi dan perekrutan program ini dilakukan oleh beberapa pihak agensi yang berada di Indonesia, seperti PT CVGEN dan PT SHB (Sinar Harapan Indonesia).
Tertarik dengan program yang ditawarkan ini, Raya kemudian mendaftarkan diri pada bulan Mei 2023, lalu mengikuti serangkaian tes. Tes psikologis dilakukan pihak kampus, tetapi tidak dengan tes bahasa asing.
Para mahasiswa dan mahasiswi yang berhasil melewati seleksi tingkat universitas mendapatkan surat penetapan untuk melanjutkan ke tahap seleksi administratif.
Baca Juga:
Polres Mukomuko Ungkap Praktik Prostitusi Terselubung di Panti Pijat Koto Jaya
Dalam tahap ini, PT SHB berperan dalam proses pengurusan dokumen, mendapatkan surat penerimaan dari perusahaan di Jerman (Letter of Acceptance), kontrak kerja dari perusahaan, working permit, dan pengajuan visa ke otoritas Jerman.
Mahasiswa yang telah lolos seleksi kemudian disalurkan melalui agen Runtime, RAJ dan Brisk yang berada di Jerman untuk bekerja.
"Dengan PT SHB, kita berkomunikasi dengan cukup intens. Perusahaan ini mengurus beberapa dokumen agar bisa membuat visa. Waktu itu kita membayar 350 Euro," kata Raya kepada CNN Indonesia, dilansir Selasa (26/3/2024).
Raya yang lolos seleksi dan sudah mencicil pembayaran kemudian menandatangani kontrak kerja dari tanggal 4 Oktober sampai 30 Desember 2023. Namun, ia malah tidak bisa berangkat ke Jerman sebelum kontrak itu mulai berlaku.
"Saya tidak bisa datang sebelum 4 Oktober, karena pihak agensi mengatakan pemberi kerja itu belum siap. Saya dibawa naungan salah satu agensi di Jerman. Teman yang lain juga tergabung di tiga agensi yang berbeda," katanya.
Pada tanggal 11 Oktober kemudian, barulah ia diberangkatkan dan tiba di Frankfurt. Bukannya langsung mendapatkan fasilitas sesuai kontrak, Raya malah sempat ditelantarkan.
"Iming-imingnya kita diantar dan mendapatkan akomodasi apartemen. Tetapi saya tidak dijemput dan tidak diantarkan juga. Saya dengan teman-teman cukup kewalahan. Tetapi saya dibantu oleh orang bekerja juga di sana, tetapi bukan dari agensi. Itu pelanggaran kontrak yang pertama," katanya.
Setelah terlantar, menganggur, hingga dipindah-pindahkan oleh pihak perusahaan agensi, Raya mendapatkan penginapan dan kontrak kerja baru dari tanggal 21 Oktober sampai 30 Desember 2023. Ia merasa tertekan dan tidak punya banyak pilihan, sehingga mau menandatangani surat kontrak yang tidak jelas.
Raya kemudian disalurkan ke perusahaan logistik. Di sana ia bertugas mengangkut barang seberat 5 kilogram hingga 30 kilogram dengan mendaki dan menurun beberapa lantai. Sedangkan jam kerjanya tidak menentu, beberapa kali sampai 10 jam.
"Saya naik turun tangga untuk mengambil barang dan mengantarkan ke berbagai lorong di lantai satu dua hingga tiga. Pekerjaannya cukup berat, saya juga men-scaner barang, menaruh barang, dan mengantarkan ke lantai satu di-packing. Durasi dalam sehari 8 sampai 10 jam," kata Raya.
Raya beberapa kali terpaksa menggunakan jasa taksi lantaran kebutuhan transportasinya ditelantarkan perusahaan agensi di Jerman, tidak sesuai kontrak. Ia dan kawannya harus mengeluarkan 1 Euro, padahal belum menerima pendapatan dari bekerja di negara asing itu.
Belum habis masa perjanjian kerjanya, Raya mengalami pemutusan kontrak kerja secara sepihak. Ia belum mendapatkan gaji dari bekerja di perusahaan penerima dan pengantar paket.
"Kita dalam posisi tertekan menandatangani pemutusan kontrak kerja. Waktu itu saya ditekan bahwa kalau tidak mau tanda tangan pihak agensi tidak akan bertanggung jawab mengenai apartemen kita," ujarnya.
Kontrak diputus sepihak
Menurut Raya, beberapa hari kemudian pihak agensi mengeluarkan surat kontrak kerja yang baru di bidang pertanian di perbatasan. Namun, aktivitas pertanian di sana tidak ada karena musim dingin bersalju sehingga Raya tidak bekerja di sana.
Pemutusan kontrak dan pemindahan tempat kerja belum berakhir bagi Raya. Pada tanggal 15 Desember 2023, ia kembali ke Frankfurt untuk bekerja di tempat penyortiran buah-buahan.
"Pekerjaannya tidak normal, 8 sampai 10 jam. Moda transportasi di sana kalau jam empat sore, tidak memadai," kata Raya.
Raya mengatakan dirinya pernah bekerja sampai pukul delapan malam. Ia pun terpaksa berjalan kaki selama 1,5 jam di tengah musim dingin untuk sampai di stasiun kereta terdekat.
"Mau tidak mau kami berjalan kaki ke stasiun terdekat selama 1,5 jam. Kami saat itu sudah kelelahan karena bekerja, hujan saat itu, suhunya mungkin hanya 4 derajat. Dalam keadaan gelap juga," kata Raya.
Raya yang beberapa menghadapi situasi sulit, sempat mengalami demam. Tidak ada pertanggungjawaban dari perusahaan agensi. Raya menanggungnya sendiri.
"Berat karena dipindah-pindahkan terus karena berada menunggu tempat terbuka. Sebanyak sembilan kali saya dipindahkan," ujarnya.
Lebih juga Raya juga sempat dieksploitasi sebagai kuli bangunan. Ia membantu merenovasi apartemen pribadi milik agensi bernama Ana. Raya mendapat gaji 77 Euro dari bekerja selama bulan Oktober. Lalu, mendapatkan 2200 Euro dari bekerja selama bulan November.
"Tetapi harus potong pajak akomodasi sekitar 1100 Euro. Saya kalkulasikan, banyak yang tidak sesuai (kontrak)," kata Raya.
Setelah serangkaian eksploitasi itu, Raya kembali ke Indonesia pada akhir Desember. Bukan untung, ia malah terjerat utang sebesar 450 Euro atau sekitar Rp7,6 juta. Bahkan teman Raya sesama mahasiswa Universitas Jambi, ada terjerat utang sampai puluhan juta rupiah.
Ada sekitar 80 mahasiswa Universitas Jambi yang mengikuti program magang yang ternyata skema eksploitasi di Jerman. Secara keseluruhan, ada 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut.
Sementara itu, Rektor Universitas Jambi Helmi menyampaikan pihaknya sedang melakukan kajian mendalam dan investigasi atas kasus tersebut. Ia pun mengatakan kampus telah menyediakan bantuan dan pendampingan dalam bentuk apa pun bagi mahasiswa
"Serta melakukan tindakan monitoring dan mendukung pihak berwajib untuk menindaklanjuti kasus ini," kata Helmi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]