WAHANANEWS.CO, Yogyakarta - Dunia akademik kembali tercoreng oleh skandal memalukan. Seorang guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) berinisial EM resmi diberhentikan setelah diduga melakukan kekerasan seksual terhadap belasan mahasiswi.
Berdasarkan hasil penyelidikan tim internal UGM, terdapat 13 mahasiswi yang menjadi korban sekaligus saksi dalam kasus ini.
Baca Juga:
Mahasiswi UGM Ditemukan Meninggal di Selokan Pinggir Jalan Magetan
Tindakan tersebut diduga terjadi di luar area kampus dalam rentang waktu 2023 hingga 2024.
"Sebanyak 13 orang telah diperiksa dan memberikan keterangan sebagai korban maupun saksi," ujar Sekretaris UGM, Andi Sandi Antonius, pada wartawan, Selasa (8/4/2025).
EM disebut menggunakan berbagai modus untuk melancarkan aksinya, mulai dari bimbingan tugas akhir, diskusi mata kuliah, hingga persiapan lomba akademik.
Baca Juga:
Prabowo atau Guterres: Siapa yang Bisa Tuntaskan Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi?
Ironisnya, pertemuan-pertemuan tersebut tidak dilakukan di lingkungan kampus, melainkan di rumah pribadinya.
"Modusnya dengan mengadakan kegiatan di rumah, seperti diskusi skripsi, tesis, hingga persiapan lomba," tambah Andi terkait kasus yang menjerat EM.
Kasus ini mencuat setelah pihak Fakultas Farmasi melaporkan perilaku EM kepada rektorat.
Setelah dilakukan evaluasi internal, Rektorat UGM mengambil tindakan tegas dengan mencabut status EM sebagai dosen dan mengeluarkannya dari institusi.
“Keputusan rektor sudah final, status EM sebagai dosen telah dicabut,” tegas Andi.
Sementara itu, status EM sebagai aparatur sipil negara (ASN) masih menunggu keputusan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sedangkan pencabutan gelar guru besar akan ditentukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Saat ini, UGM memprioritaskan pendampingan psikologis dan bantuan hukum bagi para korban, mengingat sebagian besar dari mereka masih berstatus sebagai mahasiswi aktif.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan bagi mahasiswa serta perlunya sistem pencegahan kekerasan seksual yang lebih ketat di lingkungan perguruan tinggi.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]