WahanaNews.co | CEO Sriwijaya Air, Ardhana Sitompul, mengungkap terdapat 27 ahli waris korban kecelakaan SJ 182 yang enggan menerima ganti rugi Rp1,5 miliar.
Alasannya karena proses pengajuan gugatan di AS.
Baca Juga:
KNKT Beberkan Misteri Sriwijaya Air Jatuh di Kepulauan Seribu
Ardhana mengatakan pihaknya sudah menyiapkan ganti rugi Rp1,25 miliar sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara ditambah Rp250 juta untuk masing-masing ahli waris.
Ia membantah tudingan Ketua Komisi V DPR RI Lasarus bahwa ada aksi 'preman' yang mempersulit pencairan ganti rugi tersebut.
Ardhana menegaskan tidak ada persyaratan ahli waris harus menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut pihak mana pun jika ingin ganti rugi cair.
Baca Juga:
Akhirnya, CVR Black Box Sriwijaya Air SJ-182 Ditemukan
"Enggak begitu, bukan begitu, yang tepat bukan begitu (surat pernyataan tidak menuntut pihak manapun), yang tepat adalah ketentuan di mana pihak asuransi mempersyaratkan kalau yang bersangkutan sudah menerima kompensasi tidak bisa diajukan kembali untuk pengajuan kompensasi berikutnya," jelasnya dilansir dari CNNIndonesiacom, Jumat (20/1).
Dengan begitu, ahli waris yang sudah menerima ganti rugi tidak bisa menuntut klaim lanjutan di kemudian hari.
Ardhana menegaskan ganti rugi tersebut hanya berlaku satu kali.
Aturan tersebut tidak disepakati oleh 27 ahli waris korban SJ 182. Ia menegaskan mereka yang belum mengambil uang Rp1,5 miliar tersebut karena masih mengajukan gugatan kepada Boeing di Amerika Serikat (AS).
"Kalau mereka menandatangani persyaratan itu, mereka khawatir gugatan yang di AS gak bisa dipenuhi. Jadi permasalahannya gitu. Mereka ini kenapa pada akhirnya gak mau karena diyakinkan oleh para pengacaranya bahwa kalau melakukan gugatan ke AS akan menerima lebih dari Rp1,25 miliar, bisa Rp5 miliar kali," jelas Ardhana.
Ardhana mengaku sudah menyampaikan permasalahan ini kepada Kementerian Perhubungan, sekitar 3 sampai 4 bulan lalu.
Pihaknya keberatan jika disebut ada persyaratan yang menyulitkan bagi ahli waris.
"Kami bukan gak ngasih, tapi mereka sendiri yang gak mau. Karena mereka khawatir kalau menandatangani itu kemungkinan gugatan mereka di AS itu akan berdampak," tuturnya.
Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menyampaikan langsung dugaan praktik premanisme ini ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (18/1).
Lasarus mendapatkan sejumlah pengaduan dari keluarga korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182.
Lasarus meminta masalah tersebut bisa segera diselesaikan.
Ia menyampaikan kepada Budi bahwa seharusnya pihak asuransi jangan mengatur negara.
"Ini korban sudah meninggal, keluarganya hanya mengharapkan seikhlasnya dari pihak berwenang untuk mengganti. Hak dia mau menuntut pihak mana pun, hak dia. Tapi kalau dia dipaksa untuk tidak menuntut pihak mana pun baru dibayar, ini sama dengan main preman. Kerjaan preman ini, bukan kerjaan bernegara. Saya keberatan Pak Menteri," katanya.
Ia mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara tidak disyaratkan soal kewajiban menandatangani surat pernyataan tidak menuntut pihak mana pun jika ingin mendapatkan ganti rugi.
Budi tidak menanggapi langsung informasi yang disampaikan Lasarus dalam raker tersebut. Kendati, Menhub tak memprotes tuntutan percepatan pencairan ganti rugi kepada korban yang ditekankan oleh DPR.
"Negara melindungi rakyat. Urusan rakyat adalah kepada negara karena kita diatur oleh negara. Regulasi ini dibuat oleh negara untuk mengatur kita semua, termasuk kita-kita yang ada di sini. Jadi tidak boleh ada persyaratan ditambahkan ke situ," tegas Lasarus.
Kecelakaan maut menimpa Sriwijaya Air SJ 182 dengan rute Bandara Soekarno-Hatta ke Bandar Udara Supadio, Pontianak pada 9 Januari 2021 lalu.
Pesawat mengangkut 62 orang yang terdiri dari 50 penumpang dan 12 awak itu jatuh di Perairan Kepulauan Seribu, empat menit setelah tinggal landas.
Akibat kecelakaan itu, 62 orang yang berada di dalam pesawat tewas. Kemenhub sebelumnya mengatakan Sriwijaya Air bakal dikenakan sanksi jika tak membayarkan hak keluarga korban kecelakaan SJ 182.
Dalam Pasal 26 Ayat (1) Permenhub Nomor PM 77 Tahun 2011 tertulis bahwa Direktur Jenderal di Kemenhub dapat memberikan sanksi administratif kepada pengangkut yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya.
Lalu, Pasal 26 Ayat 2 berbunyi sanksi administratif tersebut berupa peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing satu bulan. Jika peringatan tidak ditaati, maka pemerintah dapat melakukan pembekuan izin usaha angkutan udara niaga untuk waktu 14 hari kalender. [rgo]