"Rp400 triliun untuk program tersebut itu sangat berat. Itu setara dengan 15 persen anggaran belanja APBN kita sekarang. Jadi secara ruang fiskal ini tidak realistis," katanya melansir CNNIndonesia.
Andri mengatakan jika Prabowo-Gibran ingin meningkatkan pungutan pajak untuk membiayai program tersebut maka pasangan tersebut harus memberikan gebrakan baru.
Baca Juga:
Kabar Baik, Prabowo Umumkan Kenaikan Upah Buruh 6,5 Persen di 2025
Pasalnya selama hampir 10 tahun terakhir, atau selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, rasio perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto tergolong rendah dibanding negara emerging market lainnya.
Rasio pajak Indonesia tercatat 10,39 persen pada 2022. Sedangkan Kamboja mencapai 18,2 persen pada 2022 dan Filipina 15,2 persen pada September 2023.
Andri mengatakan masalah penerimaan pajak RI yang rendah terjadi karena pemerintah membiarkan penerimaan pajak yang dibayar masyarakat kelas atas tidak sebanding dengan masyarakat kelas bawah.
Baca Juga:
Arahan Prabowo Subianto, Tim Advokasi Partai Gerindra Siap Kawal Suara Tri Adhianto–Haris Bobihoe
"Secara proporsional yang paling sedikit berkontribusi terhadap penerimaan pajak itu dari kelompok atas. Itu menunjukkan kebijakan pajak kita selama ini lebih memberatkan kelas menengah ke bawah," katanya.
Sementara itu, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menilai anggaran Rp400 triiliun untuk program makan siang masih terlalu besar dan bukan prioritas. Apalagi jika anggaran tersebut nantinya diambil dari realokasi anggaran bansos, kesehatan, dan pendidikan yang merupakan program prioritas nasional.
"Kecuali yang dilakukan adalah realokasi dari penghematan belanja perjalanan dinas, belanja gaji pegawai. Tapi meskipun realokasi dilakukan saya kira anggarannya tidak akan sebesar Rp400 triliun," katanya.
Bhima mengatakan Prabowo-Gibran harus menghitung dengan teliti anggaran makan siang gratis. Jangan sampai nantinya program itu justru menggangu anggaran untuk program prioritas nasional.