WahanaNews.co | Terkait adanya laporan kasus pelecehan tiga mahasiswi, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan melakukan koordinasi dengan pihak Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
"Kami sedang mengumpulkan data bagaimana dan sejauh apa kebenaran atas pemberitaan itu atau hal apa saja yang perlu diinformasikan," kata Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang, saat ditemui di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (12/1).
Baca Juga:
Kemendikbudristek Siap Identifikasi 9 Kerangka Tentara Jepang Korban PD II di Biak
Saat ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan kampus Unesa terkait laporan pelecehan tersebut. Menurut Chatarinam butuh waktu untuk melakukan pendalaman karena beberapa pelapor tak ingin melanjutkan kasus tersebut.
"Memang ada pelapor yang tidak ingin kasusnya diproses. Itu hak mereka, jadi kita enggak bisa memaksa kalau enggak mau diproses secara pidana," ujarnya.
Sebelumnya Dosen Unesa, Surabaya, berinisial H dinonaktifkan menyusul dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Kepala Humas Unesa Vindya Maya Setianingrum mengatakan keputusan tersebut diambil usai pimpinan universitas dan tim investigasi menggelar rapat.
Baca Juga:
Kemendikbudristek Siapkan Anggaran Rp14,69 Triliun untuk Program KIP Kuliah 2025
H disebut melakukan pelecehan pada mahasiswi berinisial A saat melakukan bimbingan skripsi pada tahun 2020. Aksi dosen untuk mendekati A dilakukan via panggilan WhatsApp.
Selain kasus Unesa, sejumlah pelecehan seksual juga terjadi di beberapa kampus lainnya. Sejumlah korban pelecehan kadang enggan memprosesnya secara pidana akibat trauma untuk mengingat kembali kronologi kasus saat pemeriksaan.
Terkait penanganan kasus-kasus itu, Chatarina mengaku tak semua kampus sudah memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Pasalnya, pembentukan satgas mesti didahului pelatihan petugasnya.
"Belum semua kampus punya Satgas PPKS, karena pembentukannya harus dengan panitia. Kalau menurut saya, setahun sudah 50 persen Perguruan Tinggi bisa membentuk Satgas PPKS saja sudah alhamdulillah," ucap dia.
Kendati demikian, Chatarina mengatakan setiap pihak di lingkungan pendidikan tinggi harus turut serta dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Kampus, katanya, bisa membentuk tim ad hoc yang berperan untuk membantu penanganan kasus kekerasan seksual di kampus sebelum ada Satgas PPKS.
"Sebelum Satgas PPKS dibentuk, begitu ada kasus ya harus dibentuk satgas ad hoc, itu yang paling penting sehingga tidak menunggu ada formalitas," ujarnya.
Sebagai informasi, Mendikbudristek Nadiem Makarim menetapkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi.
Dalam aturan tersebut, kampus diminta membentuk Satgas PPKS untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Semenjak Permendikbud PPKS itu disahkan, kasus kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan Tinggi terus terungkap. [rin]