WahanaNews.co | Rencana pemerintah Indonesia membangun dan mengoptimalkan pengolahan sawit jadi bahan bakar nabati atau Biofuel dikritisi kalangan akademisi. Energi terbarukan tersebut bukan solusi tetapi malah menyebabkan deforestasi atau rusaknya hutan.
Dosen Universitas Sriwijaya Palembang yang juga Direktur Spora Institute JJ Polong memaklumi gagasan pemerintah, mengusung tema besar energi terbarukan dalam rangka menuju energi bersih. Namun di balik itu terdapat banyak masalah.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Biofuel bersih pada bagian hilirnya, tapi pada hulunya justru menyebabkan kerusakan lingkungan atau deforestasi," ungkap Polong dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, Rabu (24/11).
Menurut dia, deforestasi besar-besaran akan berimplikasi pada lepasnya emisi sehingga mempengaruhi iklim. Seperti dilakukan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang menggarap pengelolaan sawit menjadi komponen Biofuel dan digagas sebagai proyek strategi nasional yang diproyeksikan pengganti bahan bakar fosil.
"Padahal tidak ada bedanya antara BBM fosil dan BBM sawit atau Biofuel, tidak ada energi bersih atau kotor, semuanya banyak masalah. Kita tidak bisa mengatakan energi terbarukan baik atau bersih, kita harus melihat proses produksi energi dilahirkan," kata dia.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Polong menilai proyek energi terbarukan hanya berpatokan sebatas konteks ekonomi sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan. Oligarki dianggap pihak yang paling diuntungkan dengan mengkoordinasi aktor-aktor intelektual untuk mendorong energi terbarukan yang pada dasarnya tetap sama, yakni merusak lingkungan.
"Hanya mementingkan ekonomi, tidak ada sisi ekologis dan sosiologis di dalamnya, bagaimana masyarakat setempat diperhatikan. Ujung-ujungnya masyarakat masih tetap sengsara," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mendorong adanya diskursus mendalam sekaligus mengawal program itu. Apalagi fakta mencatat angka kemiskinan tertinggi di Sumsel berada di daerah kaya energi, yakni Muara Enim dan Musi Banyuasin.
"Masyarakat tidak punya hak atas kekayaan daerah, justru hanya dinikmati segelintir aktor dari tingkat kabupaten, nasional hingga internasional. Program ini perlu pengkajian agar diskursus mendalam," pungkasnya. [qnt]