WahanaNews.co | Front Pembela Islam dan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung
dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI menggelar aksi 1812 di Jakarta,
Jumat (18/12/2020).
Aksi tersebut dapat dikatakan sebagai
buntut dari kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat.
Baca Juga:
HRS Sebut ‘Negara Darurat Kebohongan’, Pengacara: Itu Dakwah
Aliansi yang dimotori PA 212, FPI, dan
GNPF Ulama ini menuntut Rizieq Shihab bebas dari jerat hukum, tanpa syarat.
Walau dimotori kelompok-kelompok yang
membuat aksi 212 pada 2016 silam, sejumlah pengamat pesimistis bisa memberi
dorongan untuk membuat kasus Rizieq terhenti.
Sosiolog dari Universitas Andalas,
Indradin, menilai, anggapan tersebut bisa
muncul karena persoalan yang diangkat dalam aksi ini tidak
mewakili kelompok Islam secara umum, seperti pada aksi 212 silam, yang terkait perkara dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), Gubernur
DKI Jakarta kala itu.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas, Ini Respon Pecinta HRS di Majalengka
"Isunya berbeda. Kalau isu
penistaan agama biasanya lebih mendapat dukungan. Kalau isunya pribadi, tentu berbeda," kata Indradin kepada wartawan, saat
dihubungi, Kamis (17/12/2020).
Oleh sebab itu, sambungnya, sulit
untuk mengatakan bahwa suara dari kelompok FPI cs itu mewakili umat Islam di Indonesia secara keseluruhan.
Hal ini tentu berbeda dari aksi
demonstrasi yang digelar berjilid-jilid untuk mendesak aparat hukum memproses
Ahok, empat tahun silam.
Meskipun demikian, kata dia, tak dapat
dipungkiri bahwa suatu kelompok biasanya akan memiliki ikatan emosional
antarsesama.
Apalagi, saat ini pimpinan yang mereka
sebut Imam Besar itu terjerat kasus hukum.
Untuk Aksi 1812 ini,
pengerahan massa dalam jumlah besar untuk datang ke ibu kota negara diperkirakan
akan sulit.
Apalagi, aparat kepolisian sudah
berjaga dan memiliki skema operasinya tersendiri, khususnya
dalam menyikapi sejumlah pergerakan simpatisan Rizieq yang menolak proses
hukum.
"Sulit menggerakkan massa yang
besar seperti sekarang ini, karena petugas akan berusaha mengantisipasi lebih
awal. Sebab, aksi ini tentu telah diperkirakan sejak awal, ketika
akan dilakukan penangkapan terhadap pemimpin mereka," tutur Indradin.
Upaya Mempengaruhi Proses Hukum
Sebagai informasi, sebelum Aksi 1812 ini, secara bergelombang massa pendukung Rizieq telah
melakukan aksi dengan mendatangi kantor-kantor polisi di sejumlah
daerah, menuntut pembebasan Imam Besar FPI tersebut.
Antara lain di Ciamis
(13/12/2020), Cianjur (14/12/2020), Tangerang (16/12/2020), Medan (16/12/2020), dan Sampang (16/12/2020).
Pengamat kepolisian dari Institute for
Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan, sikap polisi menghadapi aksi massa Rizieq ini akan
menunjukkan bagaimana kredibilitas penegakan hukum protokol kesehatan oleh
kepolisian.
Idealnya, kata dia, polisi akan tegas membubarkan apabila memang massa yang hadir menimbulkan
kerumunan dan melanggar protokol kesehatan.
Hal itu tentu menegaskan bahwa tidak
ada upaya penegakan hukum yang tebang pilih bagi aparat.
Saat ini, kata dia, masyarakat sedang
memelototi setiap pergerakan yang dilakukan aparat. Sehingga, sudah barang
tentu polisi juga akan bertindak sebagaimana mestinya.
"Di situlah letak ujian
konsistensi penegakan hukum oleh kepolisian," kata Bambang, saat dihubungi wartawan.
"Kalau tidak konsisten, akibatnya
bisa muncul asumsi bahwa penegakan hukum pada Rizieq bukan sekedar karena
pertimbangan hukum, tetapi dipengaruhi
pertimbangan-pertimbangan non-hukum, politik di antaranya,"
imbuhnya.
Selain itu, kata dia, penggunaan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
pun harus dimaksimalkan dalam aksi tersebut, apabila
memang terjadi pelanggaran.
"Korlap aksi, bila pengerahan massa itu terus dilakukan, bisa
dimintai keterangan, dan juga dijerat UU
Kekarantinaan," kata Bambang.
Menurut dia, upaya-upaya aksi yang
dicoba untuk dilakukan FPI dan kawan-kawan itu tidak akan bisa mempengaruhi
proses hukum yang berlangsung.
Bambang pun berharap agar cara-cara
pengerahan massa untuk mencampuri dan memengaruhi proses hukum dapat
ditinggalkan.
Apalagi, sambungnya, saat ini
Indonesia juga masih dalam kondisi pandemi virus Corona
(Covid-19).
Sehingga, bukan tidak mungkin, proses hukum yang terjadi dinilai berlebihan bagi sebagian besar
orang.
"Permintaan itu wajar saja, karena selama ini kepolisian tidak konsisten dalam menegakkan protokol kesehatan. Akibatnya hanya terkesan tebang pilih. Dan, di situlah letak kesulitannya bila menjerat Rizieq dengan UU kekarantinaan. Berbeda halnya
bila Rizieq dijerat dengan pasal penghasutan," kata dia.
Sebagai informasi, sebelum rencana Aksi 1812, gelombang demonstrasi memang sudah muncul di beberapa
daerah usai Rizieq ditahan oleh kepolisian.
Ratusan orang seringkali melakukan
demonstrasinya di depan kantor kepolisian setempat.
Misalnya, sehari setelah Rizieq
dijebloskan ke penjara, sejumlah orang mendatangi Polres Ciamis, meminta ditahan oleh polisi.
Aksi serupa juga terjadi di depan
Mapolres Bekasi Kota, Ciamis, Cianjur, hingga Tangerang. Mereka
menuntut Rizieq dibebaskan.
Namun, dari serangkaian aksi tersebut, semuanya berakhir dengan audiensi, dan tidak
ada massa yang dijerat proses hukum baru.
Aparat kepolisian sendiri tidak
memberi izin terhadap digelarnya aksi 1812 hari ini.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, menuturkan, pihaknya
juga melakukan upaya preventif untuk mencegah massa Aksi Bela Rizieq 1812 datang ke Jakarta. [yhr]