WAHANANEWS.CO, JAKARTA - Tingginya angka kekerasan terhadap anak di wilayah Jabodetabek, telah menjadi perhatian sejumlah pihak. Oleh sebeb itu, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) bersama dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi telah mendorong pembentukan lembaga penanganan kasus kekerasan anak secara terpadu di wilayah Jabodetabek.
Hal tersebut sebelumnya pernah dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Persiapan Pembentukan Lembaga Penanganan Kasus Kekerasan Anak di Jabodetabek” yang digelar Tim Pengabdian Masyarakat FHUI bersama KPAD Kota Bekasi beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Update Kasus Bocah Disiksa hingga Kaki Patah di Nias Selatan: 1 Orang Ditetapkan Tersangka
Dilansir dari Sindonews.com, FGD tersebut turut dihadiri oleh perwakilan dari kepolisian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kejaksaan, Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Kementerian Sosial, Rumah Sakit Polri/RSUD, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bekasi.
Termasuk END Child Prostitution, Child Phornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia serta NGO Lembaga nonpemerintah di antaranya Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Save The Children Indonesia, Forum Pengada Layanan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dan Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU).
Dalam FGD tersebut, berbagai pemangku kepentingan telah mendiskusikan mengenai tantangan dan solusi terkait perlindungan anak, baik dalam aspek hukum, sosial, maupun psikologis. Fokus utama adalah memastikan anak yang menjadi korban mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan hak-haknya dan memperoleh akses ke dukungan yang diperlukan untuk masa depannya.
Baca Juga:
Tragis! Bocah di Nias Selatan Diduga Disiksa hingga Kaki Patah, Tidur di Kandang Anjing
Hal lain yang dibahas adalah bagaimana anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) seringkali menjadi korban dari lingkungan yang tidak sehat dan hal ini telah dinormalisasi. Proses hukum terhadap ABH masih minim pendekatan rehabilitatif, sehingga diperlukan langkah-langkah konkret untuk membentuk lembaga yang dapat melindungi baik korban maupun pelaku anak.
"Diperlukan koordinasi antarlembaga untuk melindungi anak-anak secara holistik. Ini sesuai dengan mandat Undang-Undang Perlindungan Anak, yang menegaskan pentingnya pemenuhan hak anak, termasuk mereka yang terlibat dalam kasus hukum," ujar Ketua Tim Pengabdian Masyarakat FHUI Yvonne, beberapa waktu lalu.
Menurut Yvonne, kegiatan FGD tersebut tekah membahas langkah-langkah praktis dalam mendirikan lembaga penanganan kasus kekerasan anak secara terpadu di wilayah Jabodetabek.
“FGD ini membahas penanganan kasus kekerasan anak dari perspektif berbagai lembaga. Termasuk penguatan kelembagaan dalam penanganan kasus kekerasan anak,” ungkapnya.
Diketahui, dalam diskusi tersebut meskipun sudah ada berbagai lembaga dan organisasi yang menangani kasus kekerasan terhadap anak, koordinasi yang solid dinilai masih jauh dari optimal. Yvonne menyebut, kasus kekerasan anak sering kali hanya ditangani secara sektoral oleh satu lembaga menangani hukum, yang lain fokus pada rehabilitasi psikologis, sementara pendidikan anak yang terputus justru terabaikan.
“Pendekatan yang terfragmentasi ini tidak hanya memperpanjang waktu penyelesaian kasus, tetapi juga mengabaikan kebutuhan anak secara menyeluruh, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku,” katanya.
Kurangnya sinergi ini, lanjut Yvonne, menyebabkan banyak anak kehilangan haknya atas perlindungan yang utuh dan berkelanjutan. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum, misalnya, kerap kali terjebak dalam sistem yang tidak ramah anak, tanpa upaya rehabilitatif yang memadai.
“Akibatnya, mereka rentan mengalami stigma bahkan sulit untuk reintegrasi ke masyarakat,” sebut Yvonne.
Ia juga menambahkan, kegiatan tersebut menekankan pentingnya koordinasi lintas sektor bukan hanya tentang berbagi informasi, tetapi juga membangun pendekatan holistik yang memastikan setiap pihak baik pemerintah, penegak hukum, rumah sakit, lembaga sosial, hingga komunitas bekerja dalam satu visi melindungi anak secara menyeluruh.
Yvonne juga menyebut pentingnya penguatan kelembagaan sebagai upaya strategis dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan mampu menangani kasus anak secara komprehensif, mencakup aspek hukum, psikologis, dan sosial.
Sementara itu, Wakil Ketua KPAD Kota Bekasi Novrian berharap diskusi ini menjadi langkah awal dalam membangun lembaga yang dapat memberikan perlindungan maksimal bagi anak-anak di Jabodetabek.
"Meskipun banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, kami percaya kolaborasi ini akan menghasilkan solusi yang nyata," katanya.
Dengan adanya kolaborasi lintas sektor, lanjut Novrian, FGD diharapkan dapat membawa perubahan nyata dalam sistem perlindungan anak di Indonesia, menciptakan sistem yang lebih efektif, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan anak-anak yang menghadapi kekerasan dan perlindungan hukum serta pembentukan lembaga terpadu yang mampu menjadi jembatan komunikasi dan sinergi antar lembaga.
“Dengan begitu, semua pihak dapat saling melengkapi dalam memberikan perlindungan yang komprehensif dan memastikan setiap anak mendapatkan hak dan dukungan yang mereka butuhkan. Selain itu, sinergi antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah menjadi kunci, karena hanya melalui kolaborasi yang efektif, perlindungan anak dapat diberikan secara holistik dan terintegrasi,” tuturnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]