Bersama platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan lain sebagainya, pemerintah harus duduk bersama dan membahas penggunaan NIK lebih jauh, termasuk membahas detail jaminan perlindungan data pribadi NIK KTP agar tidak tersebar luas atau bahkan diperjualbelikan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, Litbang Kompas dalam survei yang dilakukan pada 17-19 Mei 2021 melalui telepon terhadap responden usia 17-34 tahun melaporkan, media sosial seperti Instagram, WhatsApp, Twitter dan lainnya menjadi sarana yang paling besar dalam melancarkan intoleransi, yakni sebesar 51,9 persen, lalu disusul lingkungan sekitar seperti rumah, sekolah, dan kantor sebanyak 20,7 persen, serta media arus utama seperti TV, koran, majalah, dan lainnya sebanyak 15,7 persen.
Baca Juga:
MPR RI Bakal Kaji Ulang Pasal TAP MPR Terkait Soeharto dan Gus Dur
"Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 melaporkan, potensi Gen-Z (rentang usia 14-19 tahun) terpapar radikalisme mencapai 12,7 persen. Sementara generasi milenial (berumur 20-39 tahun) mencapai 12,4 persen. Gen-Z dan milenial menjadi sasaran empuk lantaran mereka sangat aktif mengakses internet dan pengguna aktif berbagai platform media sosial," tutur Bamsoet menjelaskan.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, Indonesia tidak boleh hancur hanya karena penggunaan media sosial yang tidak bertanggungjawab dan bersumber dari akun anonim maupun buzzer yang tidak bisa dipastikan siapa identitas penyebar beritanya.
"Oleh karenanya, agar tidak menjadi senjata liar, setiap pengguna media sosial harus dipastikan memiliki identitas yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan jika seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," kata Bamsoet. [rin]