WAHANANEWS.CO - Di tengah krisis kemanusiaan yang kian memburuk di Jalur Gaza, pemerintah Amerika Serikat mengonfirmasi rencana baru penyaluran bantuan yang dilakukan melalui perusahaan swasta.
Sistem ini, yang tidak melibatkan Israel secara langsung dalam distribusinya, ditujukan untuk menjangkau lebih dari satu juta warga Gaza.
Baca Juga:
Genosida Terstruktur, Israel Hapus 2.200 Keluarga Palestina dari Catatan Sipil
Namun, pendekatan baru tersebut justru menuai kritik tajam dari badan-badan PBB dan sejumlah organisasi kemanusiaan internasional.
Mereka menilai skema ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan memperburuk penderitaan warga sipil, yang saat ini terperangkap dalam blokade total sejak Maret 2025.
Distribusi Dikelola Swasta, Perimeter Diamankan Israel
Baca Juga:
Israel Siap-siap Hapus Gaza dari Peta: Tak Akan Ada Lagi Hamas dalam Enam Bulan!
Menurut Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, bantuan akan disalurkan lewat pusat-pusat distribusi yang diamankan oleh kontraktor keamanan swasta. Pemerintah Israel hanya akan bertugas menjaga perimeter luar, tanpa keterlibatan langsung dalam proses pembagian bantuan.
“Presiden Trump menganggap bantuan kemanusiaan untuk Gaza sebagai prioritas mendesak. Kami diperintahkan untuk mempercepat semua proses guna menyelamatkan warga sipil,” ujar Huckabee dalam konferensi pers di Yerusalem, dikutip dari BBC, Jumat (9/5/2025).
Inisiatif ini dikoordinasikan oleh organisasi non-pemerintah yang baru dibentuk, Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Dokumen internal GHF yang diperoleh BBC menyebutkan bahwa ada empat titik distribusi utama yang ditargetkan menjangkau 1,2 juta orang, dengan cakupan akhir seluruh populasi Gaza. GHF menyatakan tetap berpegang pada prinsip-prinsip netralitas, kemanusiaan, ketidakberpihakan, dan independensi, namun rincian teknis implementasinya masih belum dijelaskan secara terbuka.
PBB Tolak Terlibat: “Bantuan Telah Dipolitisasi”
Langkah ini langsung ditolak oleh lembaga-lembaga kemanusiaan besar, termasuk Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan UNICEF. Mereka menolak terlibat, dengan alasan skema tersebut “mempersenjatai bantuan” dan menyimpang dari prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
“Kami tidak akan berpartisipasi. Tidak ada alasan untuk menerapkan sistem yang bertentangan dengan DNA organisasi kemanusiaan,” tegas Jens Laerke, juru bicara OCHA di Jenewa.
Sementara itu, James Elder dari UNICEF menyoroti risiko besar bagi kelompok rentan, khususnya anak-anak dan lansia. Ia menyebut pendirian pusat distribusi di zona militer dapat memperburuk akses terhadap bantuan, bahkan menyebabkan lebih banyak penderitaan.
Kondisi Gaza Semakin Genting: Kelaparan dan Kematian Meningkat
Sejak blokade total diberlakukan Israel pada awal Maret 2025, Gaza mengalami kelumpuhan total dalam distribusi makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. OCHA melaporkan bahwa sepertiga dapur umum telah tutup dalam dua pekan terakhir, termasuk dua dapur lapangan milik World Central Kitchen yang sebelumnya menyuplai lebih dari 133.000 makanan per hari.
Krisis pangan melonjak tajam. Di Gaza City, harga tepung melonjak hingga 415 dolar AS per 25 kg—naik 30 kali lipat dari harga akhir Februari.
Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menyatakan bahwa jumlah korban tewas telah melampaui 52.700 jiwa, mayoritas perempuan, anak-anak, dan lansia.
Dugaan Pemaksaan Pengungsian, Dunia Internasional Terpecah
Rencana Israel untuk membangun titik distribusi bantuan di wilayah Rafah—yang disebut sebagai “zona steril dari Hamas”—memicu kekhawatiran bahwa bantuan digunakan sebagai alat pemaksaan perpindahan penduduk. Saat ini, lebih dari 90 persen populasi Gaza telah mengungsi sejak pecahnya perang pada Oktober 2023.
“Skema ini tampaknya menjadikan bantuan sebagai umpan untuk memaksa warga meninggalkan rumah mereka,” kata James Elder dari UNICEF.
Pemerintah Inggris turut menyuarakan keprihatinan. Menteri Urusan Timur Tengah Hamish Falconer menegaskan bahwa skema bantuan harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh dijadikan alat politik.
Sementara itu, ribuan ton bantuan kemanusiaan dari berbagai negara telah tertahan di perbatasan, menunggu izin Israel untuk masuk ke Gaza. Tanpa pencabutan blokade, risiko kelaparan massal diperkirakan akan terus meningkat.
“Gaza Kini Layaknya Neraka”
Di tengah kondisi yang digambarkan berbagai organisasi sebagai “neraka kemanusiaan”, seruan internasional untuk akses bantuan tanpa syarat semakin nyaring. Namun, hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa pendekatan militer dan blokade akan dilonggarkan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]