WahanaNews.co | Semasa hidup, sosok Soeharto dikenal paling ditakuti di era pemerintahan Orde Baru.
Meski begitu, ada juga beberapa petinggi di era itu yang berani membangkang pada Soeharto.
Baca Juga:
Sejarah Panser Ferret Legendaris di Tubuh Militer Indonesia
Itu diceritakan dalam buku memoar mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era 1960-an, Soebandrio, yang berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada 2000.
Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.
Soebandro menuding, Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.
Baca Juga:
Mengenal Airbus A400M, Pesawat Angkut Militer yang Bakal Dimiliki Indonesia
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk, jauh sebelum peristiwa G30S.
Pertama, semasa di Divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha Tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Kabar itu berhembus ke mana-mana hingga ke telinga Jenderal Ahmad Yani.
Kabarnya, Ahmad Yani sangat marah.
Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, dia menempeleng Soeharto.
Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).
Bukan hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal AH Nasution, juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.
Soeharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Namun, saat itu, Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.
Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina.
Akhirnya, Soeharto pun disekolahkan ke Seskoad di Bandung.
Akhir Hayat Jenderal Nasution Menyedihkan
Nasib Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berbeda saat terjadi peristiwa penculikan jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965.
Ahmad Yani tewas, sementara AH Nasution berhasil melarikan diri.
Namun, Jenderal Nasution harus kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani.
Nasution masih hidup hingga 2000.
Selepas menjadi Ketua MPRS dan melantik Soeharto sebagai Oresiden ke-2 RI, kariernya meredup.
Di Orde Baru, Nasution nyaris tak kebagian peran mengurus negara.
Yang terjadi malah ia dicekal Orde Baru.
Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan, di mana ada Presiden Soeharto.
Bahkan, sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari, ikut ditarik dari kediamannya.
Sebuah cerita di penghujung hayatnya malah membuat banyak orang bersedih.
Kabarnya, dia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme.
Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi.
Berstatus jenderal, tapi mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya.
Kabarnya, ada yang memutus aliran air PAM ke rumahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, Nasution terpaksa membuat sumur di belakang rumah.
Sumur itu masih ada sampai sekarang.
Nasib Kolonel Kawilarang
Dalam sejarah dunia militer Indonesia, sosok Alex Evert Kawilarang merupakan nama yang tak asing lagi dikenal.
Pria kelahiran Batavia (kini Jakarta), 23 Februari 1920, ini pernah menempeleng Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Penempelengan tersebut terjadi ketika Kawilarang menjabat sebagai Panglima selaku atasan dari Letkol Soeharto.
Sekira 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Alex E Kawilarang melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.
Namun, Soekarno justru menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya, yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar.
Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar saat itu juga dilaporkan telah mundur ke Lapangan Udara Mandai.
Mendengar radiogram tersebut, Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar.
Setibanya di lapangan udara Mandai, dia langsung memarahi Komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.
Latar Belakang Alex E Kawilarang
Alex E Kawilarang merupakan putera dari keluarga dengan latar belakang militer.
Ayahnya adalah AHH Kawilarang, yang merupakan seorang mayor KNIL asal Tondano.
Dia lahir dari ibu bernama Nelly Betsy Mogot, yang berasal dari Remboken.
Alex E Kawilarang juga merupakan sepupu dari Pahlawan Nasional, Daan Mogot.
Dia meninggal di Jakarta pada 6 Juni 2000, di usia 80 tahun.
Selain sebagai perwira militer yang termasuk dalam Angkatan '45, Alex E Kawilarang juga merupakan mantan anggota KNIL.
Karier Militer Alex E Kawilarang
Alex E Kawilarang mengawali karier sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang pada 1941-1942.
Kariernya melaju cepat.
Pada 11 Desember 1945, dia telah menjadi perwira dengan pangkat mayor dan bertugas sebagai penghubung dengan pasukan Inggris di Jakarta.
Sebulan kemudian, tepatnya pada Januari 1946, dia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel.
Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, dia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor.
Tiga bulan selanjutnya, yakni pada Agustus 1946 hingga 1947, Alex mendapat kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.
Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta.
Di tahun yang sama, tepatnya pada 28 November 1948, dia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan.
Setahun selanjutnya, 1 Januari 1949, pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.
Di penghujung 1949, tepatnya pada 28 Desember, dia dipercaya sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel.
Dua bulan kemudian, pada 21 Februari 1950, dia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.
Pada 15 April 1950, dia diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.
Saat itu, dia ditugaskan untuk memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi.
Salah satu jasanya yang hingga kini sangat terasa kehadirannya adalah saat ia merintis pembentukan pasukan khusus TNI pada April 1951, dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwangi di Batujajar, Jawa Barat.
Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.
Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Alex Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung. [dhn]