WAHANANEWS.CO, JAKARTA - Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap menyebut penggeledahan yang dilakukan di rumah Ridwan Kamil sangat menarik, mengingat mantan Gubernur Jawa Barat itu belum pernah dipanggil atau diperiksa oleh KPK.
Menurut Yudi, penggeledahan merupakan kewenangan penyidik yang dilakukan ketika ada indikasi bahwa barang bukti penting disembunyikan di lokasi tersebut.
Baca Juga:
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Pastikan Pelayanan BJB Tidak terganggu
"Artinya, penyidik mempunyai kebutuhan untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah Ridwan Kamil," jelas Yudi dikutip dari liputan6.com, Rabu (12/3/2025).
Namun, kenyataannya Ridwan Kamil belum pernah diperiksa oleh KPK dalam proses penyidikan ini. Ia menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan, KPK biasanya akan memanggil seseorang terlebih dahulu sebelum menjadikannya tersangka.
"Karena memang tidak mungkin KPK menjadikan tersangka kalau belum pernah diperiksa terlebih dahulu dalam proses penyidikan, kalaupun belum diperiksa seharusnya sudah pernah dipanggil tapi dia tidak pernah datang karena tidak ada upaya paksa karena belum pro justitia," terangnya.
Baca Juga:
Jokowi Kaget Rumah Ridwan Kamil Digeledah KPK, Minta Proses Hukum Dihormati
Sehingga, menurut KPK, bisa saja Ridwan Kamil merupakan saksi kunci dalam kasus dugaan korupsi di BJB.
"Saya yakin bahwa meskipun biasanya penggeledahan dilakukan di rumah-rumah tersangka, Ridwan Kamil bisa menjadi saksi kunci dalam perkara ini," katanya.
Yudi juga menambahkan, meskipun Ridwan Kamil belum dipanggil, KPK pasti sudah memiliki bukti yang kuat sebelum melakukan penggeledahan.
"Penggeledahan dilakukan bukan tanpa alasan. KPK kemungkinan besar sudah memiliki informasi mengenai keterlibatan Ridwan Kamil dalam dugaan korupsi dana iklan BJB," ujarnya.
Yudi meminta agar KPK segera mengumumkan siapa saja tersangka dalam kasus ini, baik dari kalangan penyelenggara negara maupun sektor swasta.
"Daripada terjadi persepsi KPK segera mengumumkan siapa saja yang jadi tersangka dari 5 orang tersebut, baik di klaster penyelenggara negara maupun klaster swasta," tandasnya.
Duduk Perkara Kasus Korupsi Bank BJB
Kasus ini berawal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan dugaan penyimpangan dana iklan Bank BJB sebesar Rp28 miliar. Temuan ini pertama kali dilaporkan oleh BPK dalam laporan mereka yang diterbitkan pada Maret 2024.
Dalam laporan tersebut, BPK mengungkapkan bahwa Bank BJB mengalokasikan anggaran belanja iklan sebesar Rp 341 miliar yang dikelola melalui enam perusahaan agensi perantara.
Namun, nilai yang diterima media jauh lebih kecil dibandingkan jumlah yang sebenarnya dialokasikan bank. Kejanggalan inilah yang memicu dugaan korupsi, di mana terjadi mark-up dalam dana iklan yang disalurkan.
Melihat temuan tersebut, pada September 2024 KPK menggelar rapat ekspose perkara dan memutuskan untuk membawa kasus ini ke tahap penyidikan. Dalam rapat tersebut, KPK mencatat adanya lima calon tersangka yang akan diselidiki lebih lanjut.
Dua di antaranya merupakan petinggi Bank BJB, sementara tiga lainnya berasal dari pihak swasta yang diduga terlibat dalam praktik mark-up dana iklan tersebut.
Namun, meskipun kasus ini telah memasuki tahap penyidikan, hingga awal 2025 status tersangka belum juga diumumkan. Baru pada 27 Februari 2025, KPK akhirnya mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Sementara Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi, mengundurkan diri pada 4 Maret 2025, Perseroan telah menerima surat pengunduran diri Yuddy Renaldi selaku Direktur Utama Perseroan. Pengunduran diri tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan alasan pribadi.
Pengunduran diri Yuddy secara mendadak ini tepat satu hari sebelum KPK memberi pengumuman soal dimulainya penyidikan.
Permohonan pengunduran diri tersebut akan diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan Tahun Buku 2024 (RUPST TB 2024) sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]