WAHANANEWS.CO, Jakarta - Polemik batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas setelah pemerintah pusat secara resmi menetapkan empat pulau yang selama ini menjadi bagian Provinsi Aceh sebagai wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Keputusan yang diambil lewat Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 itu memicu gelombang penolakan dan kecaman dari Gubernur Aceh, Muzakir Manaf.
Baca Juga:
Kisruh Kepemilikan 4 Pulau di Tapteng, Pengamat USU Ungkap Fakta Sebenarnya
Empat pulau yang dipindahkan itu adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Statusnya kini resmi tercatat sebagai bagian dari administrasi Sumatera Utara, meski selama bertahun-tahun menjadi bagian wilayah Aceh.
“Ya empat pulau itu sebenarnya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat, sejak dahulu kala itu memang punya Aceh,” kata Muzakir Manaf dalam pernyataan di Jakarta.
Baca Juga:
Ketua DPRD Sumut Soal Sengketa Empat Pulau: Harus Kita Pertahankan
Menurutnya, dari sisi sejarah hingga iklim, keempat pulau tersebut masuk dalam identitas Aceh.
“Itu memang hak Aceh. Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh. Dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu… itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tegasnya.
Apa yang membuat keempat pulau ini begitu diperebutkan? Ternyata, keempatnya berada dekat dengan wilayah kerja migas Offshore West Aceh (OSWA), yang kini tengah dikembangkan.
Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal, mengonfirmasi bahwa lokasi keempat pulau berdekatan dengan area eksplorasi migas yang dikelola oleh Conrad Asia Energy Ltd.
“Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh (OSWA),” ujarnya. Namun, ia juga menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada data seismik memadai yang menunjukkan potensi migas signifikan.
“Kami mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik agar potensi migas bisa diidentifikasi lebih jelas,” kata Nasri.
Menurut data BPMA, Blok Singkil (OSWA) memiliki potensi gas sebesar 296 miliar kaki kubik (BCF), sementara Blok Meulaboh (ONWA) menyimpan sekitar 192 juta barel minyak dan 1,1 triliun kaki kubik gas.
Meski begitu, potensi ini belum bisa dikembangkan penuh karena masih terganjal banyak faktor teknis dan administratif.
Sementara itu, Kemendagri mengklaim tak tahu-menahu soal potensi migas di keempat pulau itu.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah, Safrizal Sakaria Ali, menegaskan bahwa tugas tim pembakuan rupabumi hanya sebatas menetapkan batas administrasi, bukan mengkaji sumber daya alam.
“Kami tidak tahu-menahu bahwa ada potensi migas segala macam, karena tidak merupakan konsen dari tim pembakuan rupabumi. Karena betul-betul berdasarkan standar yang dibangun,” ujarnya.
Safrizal menambahkan, keempat pulau itu juga tak berpenduduk. “Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” ucapnya.
Pulau Panjang misalnya, meski memiliki luas 47,8 hektare dan dilengkapi dermaga serta tugu batas wilayah dari Pemprov Aceh, kini tidak dihuni. Ada pula rumah singgah, mushola, dan makam Aulia yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil.
Pulau Mangkir Besar dan Mangkir Kecil pun tidak berpenghuni.
Pulau Mangkir memiliki luas 6,15 hektare, sedangkan Mangkir Besar 8,16 hektare, keduanya hanya memiliki tugu dari Pemerintah Aceh sebagai penanda historis.
Paling tragis adalah kondisi Pulau Lipan. Pulau yang pada tahun 2007 masih memiliki daratan hijau dan vegetasi kini nyaris tenggelam akibat kenaikan air laut.
Dengan luas hanya 0,38 hektare, saat air pasang pulau ini bahkan lenyap dari permukaan.
“Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 09.25 WIB pulau dalam kondisi tenggelam,” ujar Safrizal.
Jika merujuk pada ketentuan UNCLOS tentang kriteria pulau, maka Pulau Lipan sudah tidak memenuhi syarat sebagai pulau karena tidak muncul permanen saat pasang tinggi.
Polemik ini tak hanya menyangkut batas wilayah, namun juga menyentuh isu strategis terkait sumber daya alam dan sejarah kedaulatan.
Pemerintah Aceh bahkan mempertimbangkan langkah hukum sebagai bentuk perlawanan atas keputusan ini.
Konflik administratif ini pun menjadi sinyal bahwa di balik sepetak tanah kosong atau pulau kecil, tersimpan nilai geopolitik dan ekonomi yang sangat besar.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]