WAHANANEWS.CO, Semarang - Kasus kematian dr. Aulia Risma Lestari, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip), telah memicu perhatian publik.
Kematian ini tidak hanya mengguncang dunia pendidikan, tetapi juga membuka dugaan adanya tindakan perundungan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum senior.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Keluarga korban kini berjuang mencari keadilan melalui proses hukum.
Terkait dengan kejadian tersebut, dr. Aulia dipastikan mengalami bullying oleh oknum seniornya, sebagaimana dikonfirmasi oleh Mahabara Yang Putra, Direktur Operasional RSUP dr. Kariadi Semarang.
Namun, hingga saat ini, identitas pelaku belum terungkap.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
"Kasus perundungan memang ada, oknumnya sedang dicari," ujarnya. Pelaku diduga memanfaatkan posisinya sebagai senior untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap korban.
Pihak kepolisian pun terus melakukan penyelidikan untuk menemukan siapa yang terlibat dalam kasus ini.
Akibat insiden tersebut, aktivitas Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi Undip di RSUP dr. Kariadi Semarang dihentikan sementara hingga kasus ini terungkap.
Dekan Fakultas Kedokteran Undip, dr. Yan Wisnu Prajoko, menyampaikan permohonan maaf terkait insiden ini dan mengakui adanya kekurangan dalam proses pendidikan di institusinya.
Terkait masalah iuran, Yan Wisnu membenarkan bahwa dr. Aulia dan mahasiswa PPDS lainnya diwajibkan menyetor uang sebesar Rp 20 juta hingga Rp 40 juta setiap bulannya untuk berbagai keperluan, termasuk makan dan kegiatan sosial.
"Uang digunakan untuk nyanyi, main sepakbola, bulutangkis, sewa mobil, sewa kos dan makan. Kebutuhan paling besar untuk biaya makan sampai dua pertiganya," kata Yan Wisnu.
Meskipun iuran tersebut telah berlangsung lama, Yan Wisnu sempat berusaha membatasi besaran pungutan melalui surat edaran. Namun, ia mengakui bahwa keputusan tersebut tetap memunculkan kontroversi di mata publik.
Selain itu, Mahabara Yang Putra juga meluruskan isu mengenai jam kerja mahasiswa PPDS Undip yang disebut-sebut bekerja selama 24 jam.
Ia menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan mahasiswa bekerja overtime, namun evaluasi terkait jam kerja akan dilakukan.
Di sisi lain, keluarga dr. Aulia telah melaporkan dugaan perundungan, pemerasan, dan intimidasi kepada Polda Jawa Tengah.
Kuasa hukum keluarga korban, Misyal Achmad, menjelaskan bahwa sejumlah bukti telah diserahkan kepada pihak berwenang.
Hingga kini, sebanyak 11 saksi, termasuk ibu korban dan rekan-rekan satu angkatan, telah dimintai keterangan oleh polisi.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga turut membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap kejadian tragis ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]