WahanaNews.co
| "Bagaimana
sepatutnya membuat kebajikan sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan
melalaikan diri sendiri, ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri?"
Barusan merupakan satu petikan dari surat-surat
RA Kartini yang dibukukan dalam Surat-surat Kartini.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno.
Kartini mengalami dilema. Mimpinya agar
perempuan beroleh akses pendidikan adalah angan yang terlalu muluk pada
zamannya.
Ia sempat berpikir untuk menguburnya
dalam-dalam demi tenang hati orangtua.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
"Apakah harus mengundurkan diri demi dua
orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti
kepada keluarga besar masyarakat?"
Mimpi di Pedalaman
Hutan Bukit Duabelas, Jambi, sekitar 20 tahun
silam.
Saur Marlina Manurung lari tunggang-langgang di
belantara rimba. Ia dikejar beruang.
"Aku masuk sungai, kantong penuh air, sepatu
ketinggalan karena masuk lumpur," kenang perempuan yang akrab disapa Butet (49)
itu, ketika berbincang dengan wartawan, Selasa (27/4/2021).
Waktu itu, Butet Manurung muda adalah
antropolog di sebuah LSM konservasi.
Bertugas meneliti kehidupan Suku Anak Dalam
atau Orang Rimba, ia harus tinggal di hutan tiga pekan dalam sebulan.
Pekerjaan dengan aroma petualangan macam itu impian
Butet sejak belia.
Butet kecil suka bilang kepada ayahnya: ia
ingin jadi Indiana Jones.
Rupanya, jadi Indiana Jones tak semudah
yang tampil di layar kaca.
Dikejar beruang, Butet tak dibekali kepiawaian
apa pun untuk berkelit selain lari kencang-kencang.
Sementara itu, Orang Rimba yang hanya bermodal
cawat mampu kabur dengan tenang.
"Aku yang paling kayak badut, ketinggalan mulu,
ditarik-tarik. Begitu selesai menyeberang sungai, mau masuk ke jalan kecil yang
seperti jalan tupai, aku nabrak semak, topiku nyangkut, kantong nyangkut,"
ungkap Butet.
"Mereka (Orang Rimba) bilang, "Aduh, kamu
ini, kenapa kamu pakai pakaian seperti ini?""
Butet tertampar. Mengapa selama ini ukuran
tentang apa yang baik harus mengacu standar kehidupan modern?
Cawat, yang sering dipandang pakaian primitif
oleh orang-orang modern, rupanya teknologi canggih di sini.
Kemeja penuh kantong dan sepatu tinggi-besar
itulah pakaian yang absurd.
Di pedalaman Jambi ini, Butet juga mengajar
baca-tulis-hitung kepada anak-anak Rimba.
Sebenarnya, buta huruf bukan masalah selama
kehidupan adat menggelinding seperti biasa.
Kepandaian berburu toh dapat diwariskan
tanpa tulisan.
Namun, belantara ini mulai diintervensi dunia
luar.
"Setiap kali bertemu dengan pemerintah,
berantem dengan perusahaan, mereka (Orang Rimba) selalu diwakili orang lain.
Kenapa mereka tidak bisa ngomong sendiri? LSM orangnya berganti, negara
orangnya berganti, siapa yang bisa mereka percaya?" tutur Butet.
Butet memasang target: dalam setahun, 100 Orang
Rimba ia ajari baca-tulis-hitung. Ia serius dengan misinya.
Masalahnya, Orang Rimba tak semudah itu percaya
kepada "Orang Terang" --orang yang dari luar rimba.
Orang Terang sering datang meminta cap jempol
mereka di atas surat yang tak mereka tahu apa isinya.
Tahu-tahu, hutan mereka ditebang.
Itu sebabnya, pensil atau pena kemudian
dijuluki "Setan Bermata Runcing".
Dan Butet bertandang membawa "setan" itu
beserta ilmunya. Butet berulang kali diusir.
Bukan hanya karena mengajari ihwal
tulis-menulis, Orang Rimba yang jauh lebih dulu mengenal konsep karantina
pendatang untuk mencegah masuknya wabah, pernah memintanya pergi karena
dituding membawa penyakit.
Lagipula, siapa Butet ini?
Bukankah dia, seperti Orang-orang Terang lain,
boleh jadi punya maksud terselubung?
Akhirnya, Orang Rimba selalu mencari alasan
mengusir Butet.
Tetapi, Butet juga senantiasa punya alasan buat
kembali dan mengajar.
Hasrat Butet yang awalnya didorong oleh cita-cita
menjadi Indiana Jones, mulai beralih rupa jadi sebentuk rasa sayang
kepada Orang Rimba.
Ia sampai dipandang aneh. Tinggal di kota saja,
menurut Orang Rimba, sudah aneh; ditambah pula orang ini tak kunjung kapok
diusir dan malah mau berbagi kehidupan dengan mereka.
"Bukan aku saja yang penasaran dengan mereka,
mereka juga penasaran sama aku," kata Butet yang sudah 1,5 tahun terakhir
tinggal di Australia.
Niat mulia dan ketulusan yang terpancar darinya
perlahan dipahami Orang Rimba.
"Ibu Guru Butet", demikian ia lantas
dijuluki, lambat-laun diterima secara utuh-seluruh.
Jelang tahun keduanya di Rimba, murid-murid
Butet sudah nyaris 200 orang.
Atas pencapaian ini, ia diajak bicara oleh
tumenggung --kepala suku.
"Butet, sudah ratusan murid kamu, yang kamu
selalu bilang pintar. Tidak satu pun dari mereka yang bisa mengusir logging
(pembalakan hutan). Ngomong saja tidak bisa, tidak berani, tidak mengerti,"
ucap Butet, menirukan pesan tumenggung saat itu, tentu dalam bahasa lokal.
"Itu aku merasa sangat malu. Jadi sebenarnya
apa yang aku lakukan di sini?"
Mata yang Terbuka
Peristiwa demi peristiwa di Rimba menyadarkan
Butet satu hal penting: pendidikan harus sejalan dengan tantangan hidup.
Bagi anak-anak Rimba, tahapan usia mereka diisi
dengan mengenali daun-daun obat, belajar memanen madu, sebelum melatih
kemahiran berburu.
Di kampung-kampung tepi laut, tahapannya
mungkin lain lagi, karena tantangan hidupnya pun beda.
Ini sebabnya, masyarakat adat kerap tak
berjodoh dengan sekolah formal.
Bagi Orang Rimba, misalnya. Sekolah formal
lebih terasa seperti "sekolah pergi".
Anak-anak tercabut dari akar identitasnya,
rontok kemampuannya bertahan hidup di belantara, sebelum akhirnya terbuai dengan
panji-panji kemewahan ala perkotaan --karier cemerlang, menimbun banyak harta--
dan tak lagi kembali ke hutan.
Butet memutuskan pamit dari kantor usai empat
tahun bekerja.
Ia merasa perlu berbuat lebih dari sebatas
menyusun rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mengenai Orang Rimba.
Bila pemerintah tak mampu membuat sekolah yang
sesuai kebutuhan Orang Rimba, bukankah kita bisa menciptakannya sendiri?
Kalau tak ada yang bisa melindungi Orang Rimba
dari perambah hutan, mengapa tidak kita mampukan saja mereka melawan dan
melindungi diri sendiri?
Sokola Rimba kemudian lahir pada 2003, dibidani
oleh Butet dan empat koleganya.
Kisah jatuh-bangunnya belakangan difilmkan Riri
Riza dan Mira Lesmana lewatSokola Rimba (2013).
Di Sokola Rimba, ilmu baca-tulis-hitung bukan
bertujuan mengganti ilmu-ilmu adat yang sudah ada, melainkan sebagai ilmu
tambahan dari "luar" untuk menanggapi situasi dari "luar" Rimba pula.
Baca-tulis-hitung adalah gerbang awal bagi
pengetahuan-pengetahuan lain yang kelak memungkinkan Orang Rimba menjawab
masalah di luar hutan, semisal, membeli sesuatu di pasar atau bahkan mengusir
pencuri kayu.
"Banyak orang (perambah hutan) tidak main-main
kalau berhadapan dengan Orang Rimba. Mereka mengerti, mereka akan bilang, "Aku
panggil nih Sawit Watch, Corruption Watch, atau Walhi"," ujar Butet, yang
menghabiskan 9-10 tahun di Makekal Hulu, Bukit Duabelas itu.
Pendidikan yang Memerdekakan
Kini, Sokola bukan hadir di pedalaman Jambi
saja.
Sokola, kata Butet, berupaya hadir di komunitas
adat yang: 1) dirugikan akibat buta huruf; 2) terancam pranata sosial dan
sumber daya alamnya oleh dunia luar; dan 3) masyarakatnya masih menyayangi
adatnya.
Hingga sekarang, Sokola hidup di 17 komunitas
adat, dari pegunungan sampai pesisir, dari wilayah yang kering sampai berlimpah
air.
Apa yang jadi pokok ajar otomatis berlainan di
masing-masing tempat.
Tidak ada urgensi untuk menyeragamkan keberagaman
itu.
Butet menyebutnya "kurikulum hadap
masalah".
Jika di Jambi, Sokola Rimba memampukan
masyarakat adat melawan pencuri kayu, maka di Sokola Pesisir masyarakatnya
dibuat melek kiat menghadapi pengebom ikan.
"Aku hanya memberi prinsipnya saja bahwa,
'Kamu punya hak atas tanah ini'," kata Butet.
Pendidikan yang memerdekakan semacam inilah
yang mustahil diakomodasi oleh program seperti kurikulum nasional yang
terobsesi dengan skor dan keseragaman.
Melawan perambah hutan, atau memaksimalkan
hasil panen rumput laut, tentu tak bisa ditolong dengan ingatan rumus fisika
atau hafalan tabel periodik.
Indonesia jelas terlalu luas dan berwarna untuk
dipaksa mengikuti standar Jakarta dan kota-kota besar.
"Kita menghargai Bhinneka Tunggal Ika, tapi
kurikulumnya seragam. Itu tidak mungkin," ungkap Butet.
"Kalau model pendidikan kita seragam,
wajar orang di Papua jadi kayak orang di Jakarta, inginnya cari duit, identitas
tidak penting lagi. Murid-murid aku di Rimba, tidak ada yang meninggalkan
Rimba," tukasnya.
Begawan pemikir pendidikan dunia asal Brasil,
Paulo Freire, jauh-jauh hari telah mewanti-wanti bahayanya pendidikan yang
tidak peka terhadap konteks lokal.
Menurutnya, "seseorang tidak bisa
berharap dampak baik dari pendidikan yang gagal menghargai sudut pandang
masyarakat tertentu."
"Pendidikan seperti itu adalah invasi
kebudayaan, meski mulanya dimaksudkan sebagai niat baik," tulis Freire
dalam magnum opus-nya, Pedagogy of The Oppresed (1970).
Sejak awal, lewat pendidikannya, Sokola bukan
bermaksud memodernkan masyarakat adat.
Anak-anak dapat belajar di mana saja, dalam
kondisi mana-suka, dengan maupun tanpa seragam atau alas kaki.
Namun, Sokola juga bukan berniat memuseumkan
masyarakat adat dalam jampi-jampi eksotisme kehidupan tradisional.
Sekolah yang sudah bisa bergerak sendiri bahkan
tak perlu lagi bergantung pada Sokola.
Sokola Kaki Gunung di lereng Gunung Argopuro,
Jember, Jawa Timur, misalnya, pada 2020 lalu sudah diambil-alih oleh masyarakat
setempat.
Sokola cuma berniat membuka mata masyarakat
adat yang mungkin buta cara menghadapi tantangan dari luar, gara-gara mereka
buta huruf.
Selepas itu, biarkan, kata Butet, masyarakat
adat merdeka memilih nasibnya sendiri dengan mata terbuka.
Toh, pendidikan, atau education dalam bahasa Inggris,
berakar dari kata Latin educat atau educere yang berarti
"dipimpin/memimpin keluar".
Dari etimologinya saja, pendidikan telah
mengandung pesan pembebasan dan kemerdekaan.
"Ketika mereka (Orang Rimba) mengadopsi motor
danhandphone, aku sempat sedih. Sampai kupikir, kenapa aku harus seperti
itu? Itu seperti orang jatuh cinta sama orang, tapi ingin menyetirnya," kata
dia.
"Mereka pun tahu risiko mengadopsi beberapa hal
dari kota. Sampai sekarang, mereka (Orang Rimba) tidak mau listrik. Melihat
itu, aku bangga mereka punya filter dan keputusan yang percaya diri, "Saya
tidak mau listrik, saya mau handphone. Saya mau universitas, tapi untuk jadi
pengacaranya Orang Rimba"," ujar perempuan yang menamatkan S2 Antropologi
Terapan di Australia National University itu.
Pendidikan untuk Kehidupan, Hidup untuk Mendidik
Beberapa anak Rimba kini memiliki akun media
sosial, tapi bukan berarti setiap hari mereka dapat berbincang secara virtual
dengan Ibu Guru Butet.
Seperti Butet bilang, tidak ada anak-anak Rimba
yang meninggalkan hutan, sekalipun ada di antara mereka yang bahkan sudah
menang penghargaan film tingkat internasional.
"Mereka harus keluar Rimba dulu (untuk WhatsApp-an),"
ujar Butet, mengaku rindu nian dengan Rimba dan masyarakatnya.
Meski kini dirinya jauh dan pagebluk Covid-19
seperti tak berkesudahan, tetapi ia bersyukur, program-program Sokola dapat
terus berlangsung.
Sokola, yang sejak 2016 berubah nama Sokola
Institute dan bercita-cita jadi lokus riset tentang masyarakat adat, seperti
diberkahi dengan relawan-relawan hebat.
Relawan adalah ujung tombak pendidikan Sokola.
Mereka diharuskan tinggal di tengah komunitas
adat, alias live in, selama minimum dua tahun. Dua tahun!
Metoda inilah yang kelak membawa mereka peka
terhadap perspektif lokal.
"Tidak mudah sebenarnya," ujar Butet, "Mereka
(relawan) harus belajar bahasa lokal."
"Mereka selalu mendapat shock culture,
biarpun sudah digembleng, karena cara hidup, bahasa, hilang sinyal, putus
pacar. Walaupun dia sering ke gunung, tapi pernahkah ke gunung sebulan? Kan
tidak. Ini malah dua tahun," ucapnya.
Pada akhirnya, relawan-relawan Sokola mampu
bertahan karena, laiknya Butet dulu, mereka menemukan zona nyaman di
tengah-tengah masyarakat adat.
Tak terbersit kegalauan lantaran telah melepas
kemapanan ala hidup modern.
"Aku dulu takut membayangkan kerja di
Sudirman," aku Butet, geli.
"Awalnya aku juga shock culture, tapi
lama-lama terbawa mereka (orang Rimba). Kita belajar sambil selonjoran,
menunjuk papan tulis pakai kaki. Gila, enak banget. Aku beruntung banget bisa
punya pekerjaan seperti ini."
Atas usahanya meningkatkan kualitas hidup
masyarakat adat, Butet diganjar Ramon Magsaysay Award, penghargaan yang
dianggap Hadiah Nobel versi Asia, pada 2014.
Sepuluh tahun sebelumnya, majalah TIME
mendapuknya sebagai Heroes of Asia 2004.
Masih ada gelar-gelar lain yang tak kalah
prestise, tetapi bagi ibu dua anak ini, penghargaan-penghargaan semacam itu
hanya bonus.
Ia tak pernah mendambakan itu semua. Mimpinya,
lagi-lagi, hanya jadi Indiana Jones.
Sekarang, mimpi itu bertambah: memerdekakan
masyarakat adat dari pembodohan dan pemiskinan.
"Cuma itu yang membuatku bahagia. Aku tidak
melihatnya sekadar senang, tapi itu pekerjaan yang juga penting," tutur Butet,
setelah menertawai masalah pendanaan yang dianggapnya masalah abadi tetapi
senantiasa membuatnya bersyukur.
Ia masih berharap, Sokola dapat direplikasi
oleh banyak gerakan lain sehingga masyarakat adat yang didampingi semakin
banyak.
Walaupun Sokola telah menjangkau lebih dari
10.000 orang adat, tetapi itu bukan tolok ukur keberhasilan, ujar Butet.
Jumlah itu juga tak banyak berarti karena
faktanya, ada jutaan masyarakat adat di Indonesia.
Jutaan masyarakat adat itu bertahan hidup dari
alam tempatnya tinggal --tanah ulayat yang mungkin bakal dilibas oleh dalih
pembangunan, baik atas nama ekspansi perkebunan sawit, bisnis pertambangan,
atau industri pariwisata.
Kecil peluang mereka menang dari ancaman itu
bila buta huruf.
Bagi Butet, Sokola baru dapat disebut berhasil
bila sanggup mengubah arah kurikulum nasional, dari yang kini satu arah dengan
kacamata kuda Jakarta, menjadi kurikulum pendidikan yang dialogis dan
memerdekakan.
Cita-cita soal pendidikan yang memerdekakan
semacam ini dulu adalah juga gagasan RA Kartini.
Sekolah perempuan yang dicita-citakan Kartini
sejak lama akhirnya berdiri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
Kabupaten Rembang, setelah pernikahannya dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo
Adiningrat pada 1903.
Setahun setelah pernikahannya, Kartini
melahirkan Soesalit Djojoadiningrat.
Empat hari kemudian, ia meninggal dunia di usia
25 tahun.
Kartini tak bisa lama menikmati mimpi yang ia
wujudkan susah-payah dengan mendobrak sekat-sekat kaku patriarki dan feodalisme
dalam keluarga.
Butet, ketika melahirkan Sokola, memang tak dibatasi
oleh orangtua laiknya Kartini.
Namun, Butet sudah menerobos batas yang lain,
yaitu anggapan umum bahwa masyarakat adat adalah masyarakat terbelakang yang
harus membebek pada modernitas jika ingin dipandang maju dan beradab.
Sebagaimana Kartini yang, meski hanya sebentar,
menemani sekolah impiannya hingga akhir hayat, begitu pun Butet berharap.
"Sampai kapan, ya, sampai aku mati. Sokola itu
hidupku. Itu bayiku," kata Butet.
Bayi itu kini telah berusia 17 tahun dan bisa
berjalan sendiri.
"Aku yakin, aku tidak ada pun, Sokola bisa
jalan. Bukan Sokola butuh aku, aku yang butuh Sokola," ungkapnya. [qnt]