Ia mengusulkan Menko untuk mengurusi urusan tertentu dan memiliki pekerjaan rutin yang memiliki tupoksi dibawahnya. "Usulan nomenklatur kabinet yang inti adalah urusan manusia; urusan kawasan dan infrastruktur; urusan ekonomi; serta urusan hukum dan politik" papar Wijayanto.
Wijayanto menyarankan agar kabinet diisi oleh sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas, guna meminimalisir unsur nepotisme dalam pemilihan menteri, menggunakan pola semi matrix dengan menggantikan pendekatan sektoral yang menimbulkan silo dan koordinasi yang buruk, meminimal perubahan jumlah kementerian yang drastis.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Dukung Penguatan Ketahanan Pangan Nasional, Jadi Lumbung Pangan Utama
"Idealnya 30-34 menteri dengan orientasi pada efektivitas dan efisiensi, unsur partai dan non-partai tidak terlalu berpengaruh tetapi perlu diantisipasi fakta bahwa sosok partai lebih rentan terlibat dalam korupsi, serta pembentukan badan penerimaan negara, perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati idealnya direalisasikan pada pertengahan masa jabatan." Katanya.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengungkapkan persoalan perekomian Indonesia terletak pada fundamental ekonomi yang masih lemah.
"Makanya daya tahan terhadap guncangan yang terjadi sebagai dampak dari tekanan global tidak kuat. Oleh karena itu menyalahkan tekanan global sebagai penyebab lemahnya perekonomian domestik" tuturnya.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
Menurut analisa Esther yang juga dosen di Universitas Diponegoro, perlambatan perdagangan dunia turut membuat turun selisih antara ekspor dengan impor atau neraca perdagangan.
"Pada kuartal 1-2023, Indonesia mengalami surplus perdagangan sejumlah 14 miliar USD. Sedangkan pada kuartal pertama tahun 2024, surplus tersebut menurun jadi 9,8 miliar USD. Sementara harga komoditas ekspor utama Indonesia mulai menurun di pasar global." ungkapnya.
"Tren utang Indonesia terus meningkat, bukan hanya dalam USD tapi juga dalam Rupiah yang dapat dilihat dari SBN. Sehingga membuat ketergantungan terhadap USD sebagai alat pembayaran semakin meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi oleh generate income dalam bentuk USD, karena kapasitas ekspor terus mengalami penurunan" kata Esther.