WAHANANEWS.CO, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Republik Indonesia, Yassierli, menegaskan bahwa peningkatan produktivitas nasional merupakan pondasi utama dalam mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045.
Ia menilai, produktivitas bukan sekadar ukuran ekonomi, melainkan sebuah pola pikir (mindset), budaya kerja, dan tindakan nyata yang harus diterapkan bersama di seluruh sektor dan wilayah Indonesia.
Baca Juga:
Menaker Ajak Warga Sekitar Hutan Kembangkan Agroforestri untuk Tingkatkan Ekonomi
“Produktivitas bukan hanya angka atau rumus matematis. Ia adalah cara berpikir, budaya kerja, dan praktik yang dijalankan secara konsisten,” ujar Menaker Yassierli dalam peluncuran Master Plan Produktivitas Nasional 2025–2029 di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Dalam sambutannya, Yassierli menekankan bahwa produktivitas memiliki peran strategis dalam meningkatkan daya saing industri nasional.
Menurutnya, rendahnya produktivitas sering kali berdampak pada melemahnya ketahanan perusahaan di tengah kompetisi global, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca Juga:
KPK Buka Peluang Panggil 3 Eks Menaker Terkait Kasus TKA
“Daya saing yang rendah berawal dari produktivitas yang belum optimal. Kita harus mampu menggunakan sumber daya yang ada untuk menghasilkan produk lebih baik, efisien, dan terjangkau,” jelasnya.
Lebih lanjut, Menaker mengingatkan pentingnya pengelolaan bonus demografi agar benar-benar memberi nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi.
Saat ini lebih dari 70 persen penduduk Indonesia berada pada usia produktif, sebuah momentum yang menurutnya hanya akan menjadi bonus ekonomi apabila diikuti peningkatan kualitas serta produktivitas tenaga kerja.
Dalam forum diskusi bersama Bappenas dan Asian Productivity Organization (APO), Yassierli menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat menyumbang hingga 30–40 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Total Factor Productivity memang penting, tetapi kontribusi yang paling nyata berasal dari tenaga kerja. Inilah tantangan besar kita,” tegasnya.
Ia menambahkan, upaya peningkatan produktivitas tidak bisa dilakukan hanya dengan pendekatan top-down.
Pemerintah perlu mendorong intervensi nyata di tingkat makro dan mikro, terutama di sektor industri dan perusahaan prioritas.
Menaker juga menyoroti kondisi struktur tenaga kerja Indonesia saat ini.
Sekitar 85 persen tenaga kerja merupakan lulusan maksimal SMA/SMK, dan sekitar 60 persen masih bekerja di sektor informal.
Hal ini, kata Yassierli, menjadi tantangan besar dalam membangun ekosistem produktivitas nasional yang inklusif.
“Kebijakan apa pun harus mempertimbangkan realitas tenaga kerja kita. Tantangan kita bukan hanya kebijakan, tapi bagaimana menggerakkan industri dan daerah agar bersama-sama meningkatkan produktivitas,” ujarnya.
Empat Langkah Strategis Kemenaker Dorong Produktivitas Nasional
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan menyiapkan empat langkah strategis dalam kerangka Master Plan Produktivitas Nasional 2025–2029:
1. Penguatan Kompetensi SDM Produktivitas
Kemenaker akan menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi productivity specialist bekerja sama dengan APO.
Pada 2025, ditargetkan lahir 200 tenaga ahli bersertifikat dan 500 fasilitator produktivitas di seluruh Indonesia.
2. Pembangunan Talent and Innovation Hub
Pusat pengembangan ini akan dibangun di berbagai Balai Latihan Kerja (BLK) dengan metode project-based learning untuk melahirkan champion of productivity di tingkat daerah.
3. Peningkatan Budaya Produktivitas Nasional
Melalui berbagai inisiatif seperti podcast produktivitas, kampanye publik, serta penghargaan tahunan Productivity Award bagi perusahaan yang berhasil menunjukkan efisiensi dan inovasi.
4. Kolaborasi Lintas Sektor dan Daerah
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia industri, dan akademisi akan dilibatkan dalam menciptakan sinergi peningkatan produktivitas yang terukur dan berkelanjutan.
Menutup paparannya, Menaker Yassierli menegaskan bahwa produktivitas harus menjadi gerakan nasional lintas sektor yang menggabungkan inovasi, kompetensi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.
“Saya senang karena kita punya orkestrator dan kolaborasi luar biasa. Yang kita butuhkan sekarang bukan hanya dokumen yang bagus, tapi dokumen yang implementable, yang benar-benar bisa dijalankan dan memberi hasil nyata,” pungkasnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]