Selain itu, Faisal juga mendesak pemerintah mereformasi
subsidi energi dan listrik yang bernilai ratusan triliun. Menurutnya,
masyarakat yang benar-benar kurang mampu saja yang bisa menikmati subsidi
listrik ini.
Dari segi penerimaan, Faisal menuturkan pemerintah juga
masih bisa mencari sumber tambahan pemasukan kas negara selain dari pajak.
Misalnya, meningkatkan bea cukai rokok dan menghapus pengenaan pajak final
perusahaan konstruksi yang menjadi penyumbang PDB terbesar keempat.
Baca Juga:
Basuki: Penundaan Kenaikan Tarif Tol Akibat Pandemi, Tak Selalu Salah Pemerintah
Selain itu, pemerintah dapat menghentikan obral fasilitas
keringanan pajak seperti tax holiday, khususnya di sektor pertambangan dan yang
berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Pemerintah juga bisa menaikkan tarif pajak final di
sektor keuangan dan menaikkan tarif pajak pribadi bagi kaum super-rich menjadi
40 persen karena di RUU KUP hanya 35 persen," ujar Faisal.
Senada dengan Faisal, Kepala Center of Macroeconomics and
Finance INDEF M Rizal Taufikurahman mengatakan tak ada urgensi bagi pemerintah
merevisi UU KUP. Menurutnya, UU KUP yang sudah ada juga masih belum maksimal
pelaksanaannya.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sampaikan Perkembangan Perekonomian Indonesia 10 Tahun Terakhir
"Revisi UU ini maksa sekali, betul-betul menunjukkan
pemerintah yang memaksakan kepada wajib pajak dengan besaran yang sangat
tinggi. Sebuah urgensi yang tidak menangkap kondisi perekonomian terutama bagi
masyarakat menengah ke bawah," kata Rizal.
"Revisi UU KUP ini terkesan bahwa pemerintah ingin
sekali mencari pendapatan yang instan dalam jangka sangat pendek ya kalau yang
saya tangkap. Saya melihat pemerintah menggunakan kondisi pandemi sebagai
alasan seolah-olah ini urgen sekali," ucapnya menambahkan.
Rizal mengatakan revisi UU KUP sangat miskin uji publik
termasuk dalam meminta masukan dan saran berbagai lapisan masyarakat yang
nantinya kena wajib pajak.